Sarekat Islam Yang Terlupakan Dari Sejarah Kebangkitan Bangsa
Oleh: Ari Sentani
Hari minggu itu, 20 Mei 1908, Soetomo mempresentasikan gagasan tentang diperlukannya sebuah organisasi yang dapat menaungi ide untuk menentukan hari depan bangsa dan Tanah Air. Dia berpendapat bahwa masa depan ada di tangan mereka. Presentasi yang dilakukan di STOVIA tersebut kemudian melahirkan Boedi Oetomo, sebuah organisasi yang dijadikan simbol kebangkitan nasional sejak tahun 1948.
BO
beberapa kali mengadakan kongres untuk meletakkan garis pergerakannya. Pada
kongres pertama di Yogyakarta pada 3-5 Oktober 1908, Dokter Tjipto Mangunkusumo
yang pada waktu itu sudah menjadi dokter pribumi di Demak, dengan keras
mengemukakan pentingnya pendidikan yang bukan hanya untuk priyayi dan untuk
masyarakat Jawa lainnya, tetapi juga bagi seluruh masyarakat Hindia Belanda. Ia
mengusulkan lebih lanjut agar Boedi Oetomo mengorganisasikan diri secara
politik untuk meningkatkan kepentingan-kepentingannya. Namun usul itu ditolak
oleh kongres. Maka dengan itu, dalam pasal 2 anggaran dasar Boedi Oetomo
tertulis “Tujuan organisasi untuk menggalang kerjasama guna memajukan tanah dan
bangsa Jawa dan Madura secara harmonis” inilah tujuan Boedi Oetomo, bersifat Jawa-Madura
sentris, sama sekali bukan kebangsaan (Rizki Ridyasmara, “20 Mei Bukan Hari
Kebangkitan Nasional”, dalam http://www.eramuslim.com). Karena kekecewaan
terhadap Boedi Oetomo yang berpikir sempit dan hanya bergerak untuk kepentingan
priyayi Jawa, Tjipto mengundurkan diri yang kemudian bergabung dengan Sarekat
Islam.
Aktifitas
yang digeluti oleh BO boleh disebut hanya berkutat di bidang pendidikan dan
kebudayaan. Sedangkan aktifitas politik tidak dilakukan sama sekali. Hal ini
adalah keberhasilan politik etis yang diagendakan Belanda. Sistem pendidikan
yang dianut dalam BO sendiri adalah adopsi pendidikan Barat. BO sendiri sangat
kooperatif dengan pemerintah Kolonial. Tak heran sejak tahun 1909, BO sudah
disahkan oleh Belanda. Bahkan, anggaran dasarnya pun berbahasa Belanda.
Perkumpulan Boedi Oetomo dipimpin oleh para ambtenaar, yakni para pegawai
negeri yang setia terhadap pemerintah kolonial Belanda. Boedi Oetomo pertama
kali diketuai oleh Raden T. Tirtokusumo, Bupati Karanganyar kepercayaan Belanda,
yang memimpin hingga tahun 1911. Kemudian dia diganti oleh Pangeran Aryo
Notodirodjo dari Keraton Paku Alam Yogyakarta yang digaji oleh Belanda dan
sangat setia serta patuh pada penjajah.
Sebuah
tesis sejarah yang ditulis Savitri Scherer di Universitas Cornell, Amerika
Serikat pada tahun 1975 yang kemudian bukunya diterjemahkan kedalam bahasa
indonesia tahun 1985 menggambarkan bahwa Boedi Oetomo pada intinya merupakan
gerakan sosial yang mengartikulasikan kepentingan
kelompok priyayi non birokrat yang bersifat lokal.
Hal ini dikarenakan hubungan yang kurang harmonis antara priyayi ningrat
(priyayi birokrat) dengan priyayi profesional, khususnya para dokter Jawa.
Dalam konteks ini Schrerer mengungkapkan bahwa priyayi-priyayi Jawa, terutama
priyayi birokratis menerima pejabat-pejabat kesehatan dengan rasa permusuhan.
Achmad Jayadiningrat, Regent Serang mengungkapkan, “…dokter-dokter itu
diperlakukan seolah-olah mereka adalah mantri irigasi…” ia juga mengakui betapa
buruknya ia memperlakukan seorang dokter yang datang ke rumahnya untuk menolong
istrinya yang sedang sakit. Scherer mengungkapkan bahwa aspirasi utama
perjuangan Boedi Oetomo ialah keserasian di kalangan masyarakat Jawa (Scherer,
op.cit. hal 53). Sewaktu Soewarno diangkat menjadi sekretaris Boedi Oetomo
cabang Batavia yang mewakili mahasiswa STOVIA, ia mengeluarkan edaran yang
menjelaskan maksud dan tujuan berdirinya Boedi Oetomo. Edaran itu mengemukakan
bahwa Boedi Oetomo akan menjadi perintis terciptanya Persatuan Jawa Umum
(Algemeene Javaansche Bond).
Fakta Lain Seputar BO
Firdaus
AN, salah satu pelaku dan penulis sejarah sekaligus mantan ketua Majelis Syuro
Syarikat Islam, menolak peran Boedi Oetomo sebagai gerakan pelopor kebangkitan
nasional. Beliau mengungkapkan “…Boedi
Oetomo adalah organsasi sempit, lokal dan etnis, dimana hanya orang Jawa dan
Madura elit yang boleh menjadi anggotanya. Orang betawi saja tidak boleh
menjadi anggotanya”. Selain itu dalam rapat-rapat perkumpulan, Boedi Oetomo
menggunakan bahasa Belanda, bukan bahasa Indonesia. “Tidak pernah sekalipun
rapat Boedi Oetomo membahas tentang kesadaran berbangsa dan bernegara yang
merdeka. Mereka ini hanya membahas bagaimana memperbaiki taraf hidup
orang-orang Jawa dan Madura di bawah pemerintahan Ratu Belanda, memperbaiki
nasib golongannya sendiri” papar KH. Firdaus AN. Karena itu, lanjut Firdaus,
Boedi Oetomo tidak memiliki andil sedikit pun untuk perjuangan kemerdekaan,
karena mereka para pegawai negeri yang digaji Belanda untuk mempertahankan
penjajahan yang dilakukan tuannya atas Indonesia, dan Boedi Oetomo tidak pula
turut serta mengantarkan bangsa ini ke pintu gerbang kemerdekaan, karena telah
bubar pada tahun 1935, tegas KH. Firdaus AN.
Mengenai
hubungan Boedi Oetomo dengan Islam, KH Firdaus AN mengungapkan adanya indikasi
kebencian terhadap Islam dikalangan tokoh-tokoh Boedi Oetomo. Noto Soeroto,
salah seorang tokoh Boedi Oetomo, di dalam satu pidatonya tentang Gedachten van
Kartini alsrichtsnoer voor de Indische Vereninging berkata: “Agama islam
merupakan batu karang yang sangat berbahaya…sebab itu soal agama harus
disingkirkan, agar perahu kita tidak karam dalam gelombang kesulitan.”
Ada
fakta lain yang lebih mencengangkan, dalam sebuah artikel di “Suara Umum”,
sebuah media massa milik Boedi Oetomo di bawah asuhan Dr. Soetomo terbitan
Surabaya, dikutip oleh A. Hassan di dalam Majalah “Al-Lisan” terdapat tulisan
yang antara lain berbunyi, “Digul lebih utama daripada Makkah”, “Buanglah
ka’bah dan jadikanlah Demak itu Kamu Punya Kiblat!” (Al-Lisan nomor 24, 1938).
Bukan itu saja, dibelakang Boedi Oetomo pun terdapat fakta yang mencengangkan.
Ketua pertama Boedi Oetomo yakni Raden Adipati Tirtokusumo, Bupati
Karanganyar,ternyata adalah seorang anggota Freemasonry. Dia aktif di Loge
Mataram sejak tahun 1895. Sekretaris Boedi Oetomo (1916), Boedihardjo, juga
seorang Mason yang mendirikan cabangnya sendiri yang dinamakan Mason
Boedihardjo. Hal ini dikemukakan dalam buku “Tarekat Mason Bebas dan Masyarakat
di Hindia Belanda dan Indonesia 1764-1962” (Dr. Th. Stevens), dalam sebuah buku
yang dicetak terbatas dan hanya diperuntukan bagi anggota Mason Indonesia.
Tentang Sarekat Islam
Tiga
tahun sebelum lahirnya BO, telah lahir sebuah gerakan nasionalis yang
dipelopori oleh cerdik cendekia dan para pedagang Islam. Gerakan yang didirikan
oleh Haji Samanhudi di Surakarta pada tanggal 16 Oktober 1905 ini bernama
Sarekat Dagang Islam (SDI). SDI merupakan organisasi ekonomi yang berdasarkan
pada agama Islam dan perekonomian rakyat sebagai dasar penggeraknya. Di bawah
pimpinan H. Samanhudi, perkumpulan ini berkembang pesat hingga menjadi
perkumpulan yang berpengaruh. R.M. Tirtoadisuryo pada tahun 1909 mendirikan
Sarekat Dagang Islamiah di Batavia. Pada tahun 1910, Tirtoadisuryo mendirikan
lagi organisasi semacam itu di Buitenzorg. Demikian pula, di Surabaya H.O.S.
Tjokroaminoto mendirikan organisasi serupa tahun 1912. Tjokroaminoto masuk SI
bersama Hasan Ali Surati, seorang keturunan India, yang kelak kemudian memegang
keuangan surat kabar SI, Utusan Hindia. Tjokroaminoto kemudian dipilih menjadi pemimpin,
dan mengubah nama SDI menjadi Sarekat Islam (SI).
SI
tidak membatasi keanggotaannya hanya untuk masyarakat Jawa dan Madura saja. Hal
ini terlihat pada susunan para pemimpinnya, Haji Samanhudi dan HOS
Tjokroaminoto berasal dari Jawa Tengah dan Timur, Agus Salim dan Abdoel Moeis
dari Sumater Barat, dan AM. Sangaji dari Maluku. Tujuan SI adalah membangun
persaudaraan, persahabatan dan tolong-menolong di antara muslim dan
mengembangkan perekonomian rakyat. Keanggotaan SI terbuka untuk semua lapisan masyarakat
muslim. Walaupun organisasi ini berlabel agama, dimana selain kaum muslimin
tidak boleh menjadi anggota, bukan berarti SI tidak peka terhadap perbedaan.
Alasan menggunakan label Islam, karena hanya itulah harta yang tersisa,
selebihnya telah dirampas Belanda. Islam juga diyakini bisa menjadi sarana
pemersatu bangsa. bagaimanapun juga Islam mengakui plularitas. Islam
mensejahterakan semua rakyat. Islam senantisa berpihak kepada yang lemah.
Adanya faktor Islam inilah yang membuat SI lebih progresif, tidak terbatas pada
kelompok tertentu, dan menginginkan adanya kemajuan bagi seluruh rakyat.
Pada
waktu SI mengajukan diri sebagai Badan Hukum, awalnya Gubernur Jendral Idenburg
menolak. Badan Hukum hanya diberikan pada SI lokal. Walaupun dalam anggaran dasarnya
tidak terlihat adanya unsur politik, tapi dalam kegiatannya SI menaruh
perhatian besar terhadap unsur-unsur politik dan menentang ketidakadilan serta
penindasan yang dilakukan oleh pemerintah kolonial. Artinya SI memiliki jumlah
anggota yang banyak sehingga menimbulkan kekhawatiran pemerintah Belanda.
Seiring
dengan perubahan waktu, akhirnya SI pusat diberi pengakuan sebagai Badan Hukum
pada bulan Maret tahun 1916. Di tahun yang sama, SI berhasil membuka 181 cabang
di seluruh Indonesia. Jumlah anggota kurang lebih 700.000 orang. Tahun 1919
melonjak drastis hingga mencapai 2 juta orang. Sebuah angka yang fantastis kala
itu. Jika dibandingkan dengan BO pada masa keemasannya saja hanya beranggotan
tak lebih dari 10.000 orang. Setelah pemerintah memperbolehkan berdirinya
partai politik, SI berubah menjadi partai politik dan mengirimkan wakilnya ke
Volksraad tahun 1917.
Mempertanyakan Penetapan Kebangkitan
Nasional
Penetapan
tanggal 20 Mei sebagai Hari Kebangkitan Nasional, sesungguhnya merupakan suatu
penghinaan terhadap esensi perjuangan merebut kemerdekaan yang diawali oleh
tokoh-tokoh Islam yang dilakukan oleh para penguasa sekular. Karena organisasi
Syarikat Islam (SI) yang lahir terlebih dahulu dari Boedhi Oetomo (BO), yakni
pada tahun 1905, yang jelas-jelas bersifat nasionalis, menentang penjajah
Belanda, dan mencita-citakan Indonesia merdeka, tidak dijadikan tonggak
kebangkitan nasional.
Asvi
Marwan Adam, sejarawan LIPI menilai penetapan tanggal lahir BO sebagai Hari
Kebangkitan Nasional tidak layak. Hal ini karena BO tidak bisa disebut sebagai
pelopor kebangkitan nasional. Menurutnya, BO bersifat kedaerahan sempit. “Hanya
meliputi Jawa dan Madura saja” katanya. Dalam buku yang ditulisnya, “Seabad
Kontroversi Sejarah“ Asvi sendiri menulis bahwa Boedi Oetomo yang oleh banyak
orang dipercaya sebagai simbol kebangkitan nasional, pada dasarnya merupakan
lembaga yang mengutamakan kebudayaan dan pendidikan, dan jarang memainkan peran
politik yang aktif. Padahal politik adalah pilar utama sebuah kebangkitan.
SI
merupakan kawah candradimuka berbagai pemikir Indonesia kelas dunia. Sebutlah
H.O.S Tjokroaminoto, Agus Salim, Soekarno sampai dengan Tan Malaka, Muso dan
Semaun. Tokoh-tokoh ini memiliki andil besar dalam kemerdekaan bangsa
Indonesia. Maka, menafikan peran SI dan menggantinya dengan organisasi yang
bersifat kedaerahan merupakan hal yang sangat naïf. Dengan lahirnya SDI yang
kemudian berganti nama dengan SI, persatuan bangsa ini mulai dirajut. Tanpa
membatasi kesukuan dan batas-batas daerah, tanpa pula membedakan pangkat,
golongan maupun strata sosial.
Dengan
membandingkan Boedi Oetomo dengan Sarekat Islam, maka sewajarnya gerakan
seperti Sarekat Islamlah yang dijadikan sebagai pelopor kebangkitan nasional.
Tapi mengapa justru para pemegang kekuasaan lebih suka menempatkan Boedi Oetomo
sebagai pelopor? Terlihat kecenderungan
peminggiran Islam atau bahkan menghilangkan peran
Islam dalam sejarah Indonesia. Berdirinya Sarekat Dagang Islam pada 16 Oktober
1905 yang kemudian menjelma menjadi Sarekat Islam pada tahun 1912
merupakan pelopor kebangkitan nasional.
Pelurusan
sejarah mengenai kebangkitan Indonesia nampaknya perlu dilakukan. Bagaimana
mungkin organisasi sebesar SI bisa hilang dalam sejarah dan pendiriannya juga
tidak dijadikan tonggak Kebangkitan Nasional. Fakta-fakta tentang sepak terjang
SI seyogyanya bisa dijadikan pertimbangan pemerintah untuk melakukan pelurusan
fakta sejarah. Umat Islam yang menjadi salah satu elemen utama dan penting
dalam sejarah bangsa Indonesia, seperti kehilangan peranannya. Setiap jejak
luar biasa yang ditorehkan, seolah dihapus dan digantikan oleh peranan lain
yang sesungguhnya tidak signifikan.
Kita
sebagai bagian dari umat ini, seharusnya mengkaji ulang dan mendesak pemerintah
meluruskan fakta sejarah ini. Tidak perlu ditutupi dan diterus-teruskan, karena
beberapa pakar sejarah juga telah mengungkapkan kesalahan tersebut. sangat
disayangkan kalau peran umat terbesar di negeri ini dihilangkan begitu saja.
Ari Sentani | Asisten
Wakil Rektor III Unissula
Posting Komentar