17 Agustus,
Refleksi Indonesia Menuju Kemerdekaan Sejati
Oleh:
Febye Triadi Akib
Indonesia
yang telah memperingati hari proklamasi yang ke-70 kalinya, merupakan sebuah
perjalanan panjang bagi bangsa ini, dari segala dialektika kebangsaan yang
akhir-akhir ini telah sampai pada titik yang terendah bagi sebuah bangsa yang
berkembang.
Dilihat
dari sejarahnya. Dalam bidang ekonomi, pasca krisis moniter yang terjadi pada
rezim orde baru, nilai tukar rupiah hingga saat ini terus mengalami penurunan
sampai anjlok pada kisaran Rp. 13.000 / Dollar USA. Hal ini justru terjadi pada
momentum yang tidak tepat, yaitu momentum saat-saat akan memperingati
detik-detik proklamasi sebagai sebuah negara yang merdeka dari segala aspek
sendi kehidupan berbangsa dan bernegara.
Indonesia
yang dilihat sebagai negara yang memeiliki banyak suku bangsa bahkan bahasa,
berkembang menjadi negara yang mementingkan hajat hidup orang banyak. Indonesia
kontemporer adalah sebuah miniatur dari Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB).
Kenapa
demikian? Alwi Rachman seorang budayawan dari Universitas Hasanuddin (UNHAS)
dalam materinya di depan ratusan anak muda yang lumrah dikenal dengan sebutan
“MAHASISWA” mengungkapkan kalau yang harus tetap dilestarikan dan tetap dijaga
baik dalam bumi Indonesia ini adalah suku-sukunya.
Menurutnya,
suku-suku yang ada dalam dalam naungan Indonesia adalah suatu karunia
tersendiri. Suku yang diartikan sebagai suatu pondasi dari lahirnya dengara
Indonesia. Suku secara sederhana diartikan sebagai bangsa yang kecil, dang
bernaung di bawah negara. Itulah kenapa kemudian lahir istilah suku bangsa yang
artinya pondasi dari sebuah negara / bangsa.
Kita
mesti berterima kasih kepada sang Proklamator, bapak Ir. Soekarno yang telah menyumbangkan
sebuah gagasan besar tentang Indonesia sebagai sebuah negara yang sangat
menghargai suku bangsanya.
Untuk
itu pula, secara historis Soekarno yang berguru pada Haji Oemar Said
Cokroaminoto yang belakangan disingkat menjadi HOS Cokroaminoto dan dikenal
dengan julukan “Jang Oetama”. Dalam banyak literatur menyebutkan bawa Soekarno
pernah megatakan “Cokro adalah kiblatku” jika dilihat dari latar belakang kedua
tokoh tersebut mereka adalah para bangsawan tanah Jawa pada masanya.
Jika
kita merujuk dari segi bahasa, bangsawan adalah mereka yang terlahir dari darah
biru atau sering dikenal dengan keturunan raja, dalam konteks jawa dikenal
dengan keturunan nigrat, secara lokal sulawesi selatan tepatnya di tanah Bone
sering dikenal dengan para Arung.
Pada
awalnya bangsawan adalah keturunan yang memiliki harta serta terpandang dari
segi akhlak dan perilaku. Serta di percaya memimpin dalam suatu daerah bahkan
bangsa atau negara. Nah, Inilah yang hilang dari Indonesia kontemporer saat
ini.
Belakangan
ini, telah terjadi kasus yang sangat tidak mengenakkan yang terdengar di telinga
kita yaitu kasus Tolikara, kasus yang menyangkut agama ini, dianggap sangat
meresahkan dan sempat menjadi sorotan utama di setiap media cetak maupun
online.
Yang
menjadi hal yang sangat “seksi” untuk ditinjau ulang adalah kenapa kemudian hal
yang menyangkut agama serta terjadinya miss komunikasi antara ummat beragama
yang dijadikan alasan agar terjadinya referendum di Papua ? Hal yang satu ini
mesti ditinjau ulang agar tidak merugikan suatu pihak maupun kelompok.
Dari
kasus yang terjadi di atas. Serta kasus yang terjadi di Aceh pada tahun 2004
silam, adalah bukti kalau di dua sisi barat dan timur Indonesia seakan mengaum
dan sangat terasa mencubit Negara Indonesia sebagai kumpulan dari banyak
bangsa.
Kalau
kita berani membongkar sejarah, perjuangan Indonesia merdeka yang diperjuangkan
di semua pelosok negeri ini adalah adanya rasa yang sama, adanya rasa
tertindas, terjajah di tanah sendiri serta adanya kesamaan penderitaan sehingga
memunculkan pemberontakan rasa ingin merdeka di segala pelosok negeri.
Akan
tetapi, setelah 70 tahun Indonesia merdeka, rasa senasib dan sepenanggungan
yang penulis paparkan tadi, sudah mulai luntur dan hilang akibat sebuah pembangunan
yang tidak merata. “Auman dan Cubitan” yang terjadi di Aceh dan Tolikara seakan
menandakan bahwa rasa senasib yang dulu diperjuangkan untuk merdeka telah
luntur oleh sebuah pembangunan di setiap sektor yang tidak merata.
Contoh-contoh
seperti inilah yang kembali harus dihadapi dan disikapi secara bijaksana dan
tentunya adil, untuk memunculkan rasa nasionalisme yang tinggi di jajaran tunas
muda para penerus bangsa. Hal yang mesti diwacanakan adalah adanya
program-program yang melibatkan pemuda untuk membangun citra emas Indonesia menuju
negara yang telah merdeka semata 70 tahun ini.
Rasa
senasib dan sepenanggungang dari setiap suku di Indonesia menjadi PR besar bagi
para penentu kebijakan, untuk terus memacu kinerja dalam setiap bidangnya
masing-masing guna melakukan pelayanan yang baik bagi seluruh rakyat Indonesia.
Jikalau
kita melihat dan memaknai kembali pancasila, disitulah jantung Indonesia
sebagai negara dalam lima sila yang tentu sangat penting ditumbuhkan kebali
agar bangsa-bangsa (suku-suku) yang ada di Indonesia dapat merasakan kembali
nasib dan saling sepenanggungan bersama.
Terlepas
dari semua itu, Indonesia yang memiliki banyak suku serta bahasa tersendiri,
patut bangga karena memiliki bahasa pemersatu yaitu Bahasa Indonesia. Indonesia
harus berbangga karena memiliki orang terbaik dalam setiap sistem bernegara.
Febye Triadi
Akib | Staf
Bidang Sosial Politik dan Otonomi Daerah PW Pemuda Muslimin Indonesia Prov. SulSel 2014 - 2018 | telp./sms/WA/Line: 085240003111
| PIN BBM: 58980523 | twitter: triadifebye | surel: triadifebi@gmail.com
Posting Komentar