[31.08.2015] Francis
Fukuyama (1992) memproklamirkan keyakinannya bahwa dari semua bentuk
pemerintahan yang ada, baik monarki dan aristokrasi, negara teokrasi religius,
hingga pemerintahan diktator fasis dan komunias abad ini, satu-satunya bentuk
pemerintahan yang mampu bertahan utuh hingga akhir abad ke-20 adalah demokrasi
liberal. Keyakinan Fukuyama ini menjadi makin kuat ketika beberapa waktu
terakhir, proses demokratisasi memasuki era baru.
Jika
memang demokrasi menjadi pilihan sistem kenegaraan yang akan diterapkan, maka
pertanyaan selanjutnya adalah apakah demokrasi yang akan dijalankan adalah
demokrasi yang mengadopsi demokrasi liberal yang menjunjung tinggi liberalisme
di pelbagai aspek kehidupan atau memilih demokrasi sosial yang lebih
berorientasi pada kesejahteraan bagi warga-bangsanya. Untuk menerapkan pilihan
model demokrasi tersebut, apakah penerapannya akan berlangsung sepenuhnya
ataukah dijalankan secara terbatas dibawah naungan monarki dan aristokrasi?
Yang
pasti bahwa proses demokratisasi dan bangunan demokrasi itu sendiri tidak
mungkin berjalan tanpa pemimpin. Karena sebuah proses demokrasi yang tidak
memiliki pemimpin adalah proses demokrasi yang akan menuju anarki. Kepemimpinan
yang harus ditegakkan dalam sebuah sistem demokrasi bukanlah sebuah
kepemimpinan yang otoriter yang secara nyata bertolakbelakang dengan hakekat
demokrasi, kepemimpinan yang patut dibangun adalah sebuah kepemimpinan yang
otoritatif dan kompatibel.
Kepemimpinan
yang tetap ototritatif dan juga memiliki kompatibilitas dengan demokrasi tentu
bukanlah kepemimpinan model aristokrasi yang mengandalkan jalur pewarisan
kepemimpinan secara turun-temurun, pun bukan model kepemimpinan plutokrasi yang
diperoleh seseorang karena kekayaan bawaan. Kepemimpinan yang paling kompatibel
dengan demokrasi adalah kepemimpinan meritokrasi, kepemimpinan yang berdasarkan
pada kompetensi dan pencapaian-pencapaian prestatif, tanpa memperhatikan aspek
keturunan dan kekayaan bawaan yang dimiliki oleh seseorang.
Di tengah
negara yang masih sesak dengan perilaku politik dan kepemimpinan yang beraroma
korupsi, kolusi dan nepotisme, maka pilihannya tentu tak lain adalah
meritokrasi. Pengalaman Inggris telah membuktikan sampai abad ke-18, Inggris
masih terkenal sebagai sarang nepotisme yang dipelihara oleh fodalisme dalam
naungan sistem monarki. Namun bangunan semangat berkompetisi (competitive
spirit) yang terlahir karena tekanan eksternal sejak perang dunia pertama,
mampu menggerus dan menggusur nepotisme dari panggung sejarahnya.
Kepemimpinan Pemuda
Secara
potensial, untuk menegakkan bangunan model kepemimpinan meritokrasi dalam
sebuah negara, maka konsep kepemimpinan pemuda adalah hal tidak bisa untuk
disepelekan begitu saja. Hal ini karena pemuda merupakan bagian masyarakat yang
memiliki kompetensi paling besar untuk menunjukkan pencapaian-pencapaian
prestatif, tinggal bagaimana mereka diberi dorongan untuk itu. Hal lain yang
penting untuk mendorong kepemimpinan kaum muda adalah pembangunan karakter.
Tidak
dapat dipungkiri bahwa pemuda memang memiliki karakter mental yang labil
apabila ditinjau dari sudut bangunan psikologisnya, namun bila pemuda mempunya
keyakinan teguh terhadap suatu bangunan nilai atau prinsip yang diyakininya
benar dan positif, maka pemuda akan memperjuangkannya secara tulus ikhlas dan
tanpa pamrih, dalam kondisi ini, mereka mejelma menjadi kekuatan yang luar
biasa. Sungguh pantas Soekarno percaya dengan kapasiatas pemuda berkarakter
seperti ini melalui ucapannya, “beri aku sepuluh pemuda, dengan mereka aku
mengguncang dunia”.
Tapi
dalam konteks Indonesia hari ini, dibutuhkan kerja ekstra keras untuk
mewujudkan model kepemimpinan meritokrasi dengan mendorong pemuda sebagai
subyek utamanya, karena kualitas pemuda hari ini masih memprihatinkan. Sebesar
5,7 juta penganggur di Indonesia adalah mereka yang berusia antara 15-24 tahun,
ini berarti pengangguran pemuda masih tinggi. Disamping itu, sebagai dampak
dari arus globalisasi informasi dan gaya hidup, pemuda Indonesia tertulari gaya
hidup yang mensahkan pergaulan bebas, bahkan diperkirakan sekitar 6.000 pemuda
Indonesia perhari mulai mencoba narkoba. Dan yang paling menggiriskan hati
adalah makin meningkatnya prosentasi pemuda yang menjadi pelaku tindak
kriminal.
Pendidikan Karakter
Tentu
potensi besar yang dimiliki pemuda tidak bisa disia-siakan apabila demokrasi
yang dijalankan dibawah model kepemimpinan meritokrasi masih menjadi pilihan
bersama. Kelabilan mental karakter pemuda dari sudut psikologis harus bisa
diatasi dengan mendorong proses pembangunan karakter yang kokoh pada generasi
muda, dan kunci dari proses itu adalah pendidikan karakter. Pendidikan menjadi
pilihan sebab pendidikan sebagaimana dikatakan oleh Pierre Bourdieu “memberikan
bukan sekedar skemata bagi perbedaan kelas dan prinsip fundamental bagi
kemapanan tertib sosial, tetapi juga menjadi katalis bagi perjuangan kuasa yang
kompetitif”.
Adapun
bangunan karakter yang penting untuk dibangun dalam generasi muda adalah
pertama, semangat berkompetisi (competitive spirit). Semangat ini dibutuhkan
untuk menstimulus pemuda agar mampu menunjukkan prestasi-prestasi positif.
Semangat ini berupa keunggulan khas, dapat diandalkan, serta daya tahan dalam
kesulitan dan persaingan; kedua, modal moralitas (moral capital) ini menjadi
penting untuk tetap menjaga agar jangan sampai semangat berkompetisi
memberangus rasa tanggungjawab sosial dari pemuda. Moral capital yang paling
mendasar komitmen pada perjuangan untuk menegakkan nilai, keyakinan, tujuan dan
amanat penderitaan rakyat.
Untuk
membangun karakter seperti ini dalam generasi muda, maka pendidikan karakter
harus meliputi kognisi (pikiran), emosi (perasaan) dan fisik (perilaku). Proses
pendidikannya harus mengartikulasikan nilai-nilai dalam bentuk, mengetahui yang
baik (knowing the good); merasakan yang baik (feeling the good); mencintai yang
baik (loving the good); menginginkan yang baik (desiring the good); dan
melakukan yang baik (acting the good).
Pendidikan
yang seperti ini akan mendorong proses manifestasi karakter menjadi kebiasaan.
Dari pendidikan karakter ini, akan lahir generasi yang memiliki kapasitasdan
kompetensi untuk berprestasi dan berkompetisi secara sehat serta memperlihatkan
karya nyata bagi kehidupan sosial yang lebih baik, disamping itu juga tetap
memiliki rasa tanggungjawab sosial yang tinggi untuk memperjuangkan dan
menegakkan nilai kebenara dan keadilan serta perlindungan terhadap hak dan
kepentingan orang banyak. Pemuda dengan kualitas seperti inilah yang akan
menjadi tulang punggung dari model kepemimpinan meritokrasi yang demokratis.
Meritokrat Pemuda
Pemuda
berkarakter yang menjadi harapan masa depan demokrasi, juga dituntut untuk
mampu mengaktualisasikan kapasitas dan kompetensi serta karakter positif yang
dimilikinya dalam dunia politik sebagai ranah kontestasi kekuasaan secara
sosial politik dalam sebuah negara. menurut Yudi Latif, pemuda berkarakter
harus mampu memanifestasikan diri dalam bentuk meritokrat pemuda pada empat
level kepemimpinan politik yaitu, basis moralitas; tindakan politik;
keteladanan; dan komunikasi politik.
Pada
level pertama, basis moralitas. Disini, komitmen seorang pemimpin pada
perjuangan untuk menegakkan nilai, keyakinan, tujuan dan amanat penderitaan
rakyat diuji. Realitas politik Indonesia hari ini memperlihatkan bahwa hanya
sedikit politisi dan aparat pemerintah yang bisa lolos dari level ini. Hampir
semua politisi bekerja untuk diri sendiri dan kelompoknya. Para legislator
lebih nampak sebagai wakil partai dari pada sebagai wakil rakyat.
Kedua,
tindakan politik, pada level ini seorang pemimpin diharapkan mampu untuk
menerjemahkan bangunan nilai-nilai moralitasnya kedalam perilaku, kebijakan dan
keputusan politiknya. Ini tentu makin sulit, bagaimana mungkin mereka yang
tidak memiliki komitmen moral dan kepekaan sosial akan peduli dengan bangunan
perilaku, kebijakan dan keputusan politiknya. Mereka hanya peduli pada
kepentingan diri sendiri, sehingga perilaku, kebijakan dan keputusan politiknya
tentu merupakan pengejawantahan dari hal itu semua.
Ketiga,
keteladanan, kepercayaan komunitas politik dan konstituen akan tumbuh apabila
mereka mampu melihat perilaku moral yang konkrit dan efektif dari para
pemimpinnya sebagai suatu penerjemahan dari sebuah sikap moral yang memihak
kepentingan mereka. Mereka juga akan melihat dan mencontoh prilaku moralitas
dari pemimpinnya, karena keteladanan seorang pemimpin akan menularkan kesan
otentik dari sebuah prilaku.
Terakhir,
komunikasi politik. Seorang pemimpin dituntut untu mampu mengkomunikasikan
nilai-nilai moralitas menjadi bahasa politik yang bisa difahami dan dimengerti
oleh masyarakat sehingga nilai-nilai moralitas tersebut menjadi efektif dan
fungsional. Pemahaman yang baik akan anutan nilai moralitas pada masyarakat
akan berimplikasi pada penguatan solidaritas sosial dan peningkatan kualitas moralitas
masyarakat.
Artikulasi
nilai-nilai moralitas berupa komitmen pada perjuangan untuk menegakkan nilai,
keyakinan, tujuan dan amanat penderitaan rakyat sebagaimana yang harus
diterjemahkan kedalam empat level tersebut diatas, hanya bisa dilakukan oleh
mereka yang menjadi pemimpin bukan karena warisan nenek moyang sebagaimana
dalam sistem aristokrasi. Pun bukan mereka yang memimpin karena plutokrasi
memiliki kekayaan bawaan sebagaimana kaum plutokrasi. Tapi mereka yang memimpin
memiliki kompetensi serta pencapaian-pencapaian prestatif.
Muhammad Kasman | twitter: @KasmanMcTutu | surel: kasmanku@gmail.com | pin bbm:
321ced75 | telp./sms/wa/line: 082293716538 | weblog:
http://kasmanpost.blogspot.com
Posting Komentar