[24.08.2015] “Berpuluh-puluh
tahun kita bangsa Indonesia telah berjuang untuk kemerdekaan tanah air kita.
Bahkan telah beratus-ratus tahun! Gelombangnya aksi kita untuk mencapai
kemerdekaan itu ada naik dan ada turunnya, tetapi jiwa kita tetap menuju kearah
cita-cita.” Suara Sukarno terdengar lantang pagi itu.
Jumat
17 Agustus 1945, jam menunjukkan waktu pukul 09.56, dengan didampingi oleh
Mohammad Hatta, Sukarno memproklamirkan kemerdekaan Indonesia dalam kondisi
alat pengeras suara yang rusak akibat kabelnya terinjak-injak oleh massa yang
berjubel.
“Sekarang
tibalah saatnya kita benar-benar mengambil nasib bangsa dan nasib tanah air di
dalam tangan kita sendiri. Hanya bangsa yang berani mengambil nasib dalam
tangan sendiri akan dapat berdiri dengan kuatnya.” Demikian bilang Sukarno
pula.
Nama
Sukarno memang lekat dengan proklamasi, namun ada nama lain yang patut diingat
terkait kemerdekaan: Tjoroaminoto. Membincang kemerdekaan tanpa menyebut
Tjokroaminoto, adalah kenaifan. Sebab Tjokroaminoto dan Sukarno, dengan
peranannya masing-masing, bertaut erat dengan ihwal kemerdekaan.
Hubungan
keduanya, pun unik. Disamping keselarasan ide pasal kemerdekaan, mereka adalah
guru dan murid, sekaligus mertua dan anak menantu. Istri pertama Sukarno –Siti
Oetari, adalah putri Tjokroaminoto.
Jauh
hari setelah kemerdekaan, Sukarno tak pernah melupakan gurunya. Dia mengakui
bahwa ide kemerdekaan yang kemudian bisa diwujudkannya melalui proklamasi,
adalah buah perjuangan Tjokroaminoto.
“Pemikiran
awal yang dipupuk oleh Pak Tjokro dan mulai menemukan bentuknya di Surabaya...”
Demikian daku Sukarno yang pernah mondok di rumah Tjokroaminoto di Surabaya
selama enam tahun. Kedekatan inillah yang membentuk nasionalisme Sukarno.
Dua
orang penulis Soviet, Kapitsa M.S. dan Maletin N.P. dalam Soekarno: Biografi
Politik (2009), mengakui bahwa Tjokroaminoto telah menjadi ideal bagi pemuda
soekarno, bahkan rumah Tjokroaminoto di gang Peneleh disebutnya sebagai
universitas politik bagi kaum pergerakan.
Ide
kemerdekaan pun demikian adanya, diserap Sukarno dari Tjokroaminoto. Bersama
dengan kawan kost-nya, Semaun dan Sekarmadji, Sukarno membangun imaji tentang
kemerdekaan di bawah bimbingan Tjokroaminoto yang gencar menyuarakan itu.
Seperti
pada tahun 1916, dihadapan peserta Kongres Sarekat Islam, Tjokroaminoto
berpidato lantang, “Tuan-tuan jangan takut, bahwa kita dalam rapat ini berani
mengucapkan perkataan zelfbestuur atau pemerintahan sendiri... Supaya Hindia
lekas dapat pemerintahan sendiri (zelfbestuur)...”
Namun
dari ketiga muridnya yang terkenal, Semaun yang memilih komunisme, Sekarmadji
yang menganut Islamisme serta Sukarno yang mengusung nasionalisme,
Tjokroaminoto lebih percaya bahwa Sukarnolah yang mewarisi ide-ide besar dan
jalan perjuangannya.
Maka
kepada keluarganya, Tjokroaminoto berpesan, “Ikutilah anak ini. Dia diutus oleh
Tuhan untuk menjadi Pemimpin Besar kita. Aku bangga karena telah memberinya
tempat berteduh di rumahku.” Tulis Cindy Adams dalam Soekarno: Penyambung Lidah
Rakyat (Edisi Revisi, 2007).
Pula,
bukan sebuah kebetulan Sukarno dititipkan di rumah Tjokroaminoto, “Nak, aku
telah merencanakan langkah ini begitu kau dilahirkan ke dunia. Semua telah
diaturnya dan engkau akan tinggal di rumah H.O.S. Tjokroaminoto.” Terang Raden
Soekemi, ayah Sukarno, ketika melepas anaknya ke Surabaya.
Perhatian
khusus Tjokroaminoto terhadap Sukarno juga terlihat pada tahun 1919. Sewaktu,
hujan abu vulkanik mengepung Blitar, saat itu Sukarno sedang berlibur ke sana.
Karena khawatir, dengan mengabaikan keselamatannya, seorang diri Tjokroaminoto
mengendarai mobilnya dari Surabaya ke Blitar.
Semua
itu dilakukan seorang Tjokroaminoto, hanya untuk memastikan si murid
kesayangan, Sukarno, selamat dari bencana yang menimpa Blitar. Demikian
perhatiannya Tjokroaminoto kepada Sukarno, begitu pula perhatian Sukarno pada
guru dan mertuanya.
Ketika
mengetahui mertuanya digiring tentara Belanda ke tahanan pada sebuah tengah
malam di akhir Agustus 1921, Soekarno meninggalkan kuliahnya di Bandung dan
kembali ke Surabaya. “Saya harus berbakti kepada orang yang saya puja,”
demikian alasan Sukarno.
“Pak
Tjokro adalah pujaanku. Aku muridnya. Secara sadar atau tidak sadar ia
menggemblengku”, “Aku menjadi buntut dari Tjokroaminoto. Kemana dia pergi aku
turut” dan “Cerminku adalah Tjokroaminoto” Pengakuan Sukarno pada Cindy Adams
ini menunjukkan betapa Tjokroaminoto begitu mempengaruhi Sukarno.
Salah
satu pemikiran Tjokroaminoto yang demikian memengaruhi Sukarno adalah soal
persatuan bangsa. Sebab Tjokroaminoto yakin, begitupun Sukarno, bahwa
persatuanlah pondasi kemerdekaan dan pemerintahan sendiri (zelfbestuur).
Tjokroaminoto
menyeru, “Kita mencintai bangsa kita dan dengan ajaran agama kita (Islam), kita
berusaha sepenuhnya untuk mempersatukan seluruh atau sebagian terbesar bangsa
kita. ...dan meminta segala sesuatu yang kita anggap dapat memperbaiki bangsa
kita, tanah air kita dan pemerintahan kita.”.
Maka
Sukarno pun menyahuti seruan gurunya dalam Nasionalisme, Islamisme dan
Marxisme, “Sebab kita yakin, bahwa persatuanlah yang kelak kemudian hari
membawa kita ke arah terkabulnya impian kita: Indonesia Merdeka!”.
Saat Sukarno
memproklamirkan kemerdekaan bangsa ini pada 17 Agustus 1945, Tjokroaminoto
memang telah marhum sebelas tahun sebelumnya –17 desember 1934, namun Sukarno
mengabadikan ide persatuan ini dalam sila ketiga Pancasila: Persatuan
Indonesia.
Muhammad Kasman | twitter: @KasmanMcTutu | surel: kasmanku@gmail.com | pin bbm:
321ced75 | telp./sms/wa/line: 082293716538 | weblog:
http://kasmanpost.blogspot.com
Posting Komentar