[17.08.2015] “Tuan-tuan jangan takut, bahwa kita dalam rapat ini berani mengucapkan perkataan zelfbestuur atau pemerintahan sendiri...” Suara berat bariton menggema dengan kalimat yang berapi-api, membakar semangat hadirin yang memenuhi Gedung Pertemuan Concordia (sekarang Gedung Merdeka), Kota Bandung.
Pemilik
suara itu adalah Hadji Oemar Said Tjokroaminoto, Ketua Central Sarekat Islam
(CSI). Tokoh pergerakan yang oleh Belanda digelari De Ongekroonde Koning van
Java (Raja Jawa yang Tak Dinobatkan). Dialah Jang Oetama, sang Raja Tanpa
Mahkota.
Pagi
itu, 17 Juni 1916, Tjokroaminoto sedang menyampaikan pidato pada pembukaan
National Indisce Congres (Natico) atau Kongres Nasional Pertama CSI, yang dalam
catatan Rambe (2008:82) dihadiri oleh utusan dari 80 Lokal Sarekat Islam (SI)
yang mewakili 360.000 anggota Sarekat Islam di seluruh Indonesia.
Natico
Pertama CSI yang berlangsung 17–24 Juni 2015 ini merupakan sebuah peristiwa
yang patut diapresiasi, sebab inilah kegiatan besar pertama di era pendudukan
Belanda yang dengan berani menyebutkan kata natie (kebangsaan) dan zelfbestuur
(pemerintahan sendiri). Menghimpun kaum pergerakan bumi putra dari seluruh
nusantara: Jawa, Sumatera, Kalimantan, Bali dan Sulawesi.
Dalam
bukunya Sejarah Pergerakan Rakyat Indonesia (1980:6), AK. Pringgodigdo mencatat
bahwa pada tahun 1916, saat Natico Pertama CSI digelar, anggota SI sudah
mencapai 800.000 orang. Sementara Korver (1985:195) menyebut angka 700.000
orang dengan jumlah Lokal SI sebanyak 180.
Dengan
dukungan rakyat yang besar, pada hari kedua Natico, Tjokroaminoto berani
berteriak lantang, “...bilamana kita memperoleh zelfbestuur yang sesungguhnya,
artinya bila tanah air kita, kelak menjadi suatu negara dengan pemerintahan
sendiri, maka seluruh lapisan masyarakat semuanya akan menuju ke arah dan
bersama-sama memelihara kepentingan kita bersama...”
Pada
Natico Kedua CSI, 20-27 Oktober 1917 di Jakarta, selain menegaskan Islam
sebagai landasan perjuangan untuk mewujudkan zelfbestuur, Kongres juga
menegaskan, perjuangan SI melawan segala tindasan kapitalis. “Sarekat Islam
sebagai pelindung anak kromo.... Jika onderneming masih tetap bertindak seperti
yang sudah-sudah, maka kita hendak mempertahankan hak kita sampai kepada titik
darah yang penghabisan.” Tegas Tjokroaminoto dalam pidatonya.
Mengomentari
ini, Kapitsa M.S. dan Maletin N.P. dalam Soekarno: Biografi Politik (2009:23)
menulis, “Pada musim gugur 1917 dalam Kongres Sarekat Islam yang ke-2,
bersamaan dengan tuntutan dibentuknya suatu dominion untuk Indonesia, telah
tercantumkan juga semboyan untuk dicapainya kemerdekaan.
Pada
tahun 1918, pemerintah kolonial membentuk Volksraad (Dewan Daerah), sebuah
pseudo-parlemen yang diisi oleh 19 anggota yang diangkat oleh pemerintah, dan
19 orang yang dipilih oleh rakyat. Tjokroaminoto merupakan salah satu anggota
Volksraad karena diangkat.
Menanggapi
kondisi ini, internal SI mengalami perbedaan pendapat, faksi yang lebih
sosialis menolak keberadaan volksraad dan meminta Tjokroaminoto untuk tidak
menerima pengangkatan tersebut, sementara faksi yang lain merasa penting untuk
berada di dalam sebagai upaya memaksimalisasi fungsi volksraad.
Menurut
Soe Hok Gie dalam Dibawah Lentera Merah (1999:24), Semaun sebagai Ketua Lokal
SI Semarang yang terang-terangan menentang volksraad mengatakan, “Hanya Tjokroaminoto
seorang saja yang wakil kromo”. Bahkan menurutnya, terdapat lima orang
kapitalis yang jelas merupakan musuh kaum kromo.
Dalam
upayanya meradikalisasi fungsi volksraad, Tjokroaminoto bersama anggota
volksraad dari unsur SI, Budi Utomo, ISDV, Insulinden dan Pasundan membentuk
badan federasi dengan nama Radicale Concentratie pada 16 Nopember 1918. Namun
kehadiran badan federasi ini tak juga membuahkan hasil. Melihat hal ini, rakyat
dan terutama anggota-anggota SI mulai menunjukkan kemarahan.
Pada
Natico Keenam CSI di Surabaya, 6 – 10 Oktober 1921, friksi antara kubu Sosialis
dan kubu yang lebih moderat kiat menguat. Ketidakhadiran Tjokroaminoto dalam
Kongres karena ditahan Belanda, membuat SI terbelah karena kebijakan disiplin
organisasi. Faksi sosialis yang dimotori Semaun ‘dipaksa’ memilih tetap di SI
atau keluar.
Perpecahan,
ditambah dengan masih ditahannya Tjokroaminoto, membuat gerakan SI melemah.
Tjokroaminoto ditahan dari Agustus 1921 – April 1922. Sekeluarnya dari penjara,
dalam Kongres Al Islamdi Cirebon, 31 Oktober – 2 Nopember 1922, Tjokroaminoto
memperkenalkan ide Sosialisme Islam dan program tandhim (perjuangan).
Sosialisme
Islam, Sosialisme yang ber-Ketuhanan ala Tjokroaminoto kemudian menjadi
ideologi SI pada Natico Ketujuh di Madiun, 17 – 23 Februari 1923. Menurut Ohan
Sudjana (1999:31), pada Kongres tersebut, Tjokrominoto menegaskan bahwa SI
sedang mendapat sakit, dan obatnya yang paling manjur hanyalah Sosialisme.
Sosialisme
Tjokroaminoto adalah sosialisme yang berlandaskan pada ajaran Islam. Dalam
Islam dan Sosialisme (1924:22), Tjokroaminoto menegaskan, “Bagi kita, orang
Islam, tak ada sosialisme atau rupa-rupa ‘isme’ lain-lainnnya, yang lebih baik,
lebih indah dan lebih mulus, selain dari sosialisme yang berdasar Islam.”
Pilihan
ideologis Tjokroaminoto ini dipuji oleh dua orang penulis Soviet, Kapitsa M.S.
dan Maletin N.P. (2009:20), bahwa hal ini menunjukkan, “Tjokroaminoto merupakan
wakil dari kaum inteligensi yang mencerminkan kesadaran nasional Indonesia dan
yang telah menciptakan ideologi dari aliran yang lebih radikal dalam gerakan
nasional.”
Bagi
Kapitsa M.S. dan Maletin N.P. (2009:21), Tjokroaminoto berhasil membaca
perkembangan dasar-dasar obyektif yang ada menuju perjuangan pembebasan
nasional Indonesia secara menyeluruh, yaitu: adanya suatu bahasa perhubungan
antar suku –bahasa Melayu, serta kesamaan agama dari penduduk yang 90% adalah
muslim.
Analisa
ini diperkuat oleh Nasihin dalam Sarekat Islam Mencari Ideologi 1424-1945
(2012:152) yang menjelaskan bahwa bagi Tjokroaminoto, sosialisme bukan sebuah
hal yang harus ditentang, selama sosialisme tersebut adalah sosialisme yang
berlandaskan pada agama yang mayoritas dipeluk oleh penduduk bumi putera.
Sosialisme
menurut Tjokroaminoto mempunyai tiga anasir: kemerdekaan (vrijheid-liberty),
persamaan (gelijkheid-equality) dan persaudaraan (broedeschap-fraternity).
Sebelum dunia Barat mengibarkan hal ini, “Semenjak lahirnya, dengan
senyata-nyatanya Islam telah mengajarkan dan melakukan tiga perkara yang
menjadi anasir (element) sosialisme yang sejati itu”. Tulis Tjokroaminoto dalam
Program Azas (1934:59).
Nasihin
(2012:217) menjelaskan bahwa Program Azas adalah sebuah aturan dan tuntunan
yang ditulis oleh Tjokroaminoto bagi Sarekat Islam dalam mengusung
perjuangannya menuju Indonesia Merdeka. Merdeka yang dimaksud di sini adalah
kemerdekaan sejati yang mencakup kemerdekaan, persamaan dan persaudaraan yang
diwujudkan berdasarkan Sosialisme Islam.
Saat
Soekarno membaca proklamasi 70 tahun yang lalu, Tjokroaminoto –aktivis
pergerakan yang lahir 16 Agustus 1882, tepat ketika Krakatau meletus, di sebuah
daerah bernama Bakur, Madiun, Jawa Timur ini, telah marhum sebelas tahun,
Tjokroaminoto meninggal 17 desember 1934. Meskipun demikian, kemerdekaan sejati
masih saja menjadi arah perjuangan.
Mungkin
seruan untuk membasmi kapitalisme sampai ke akar-akarnya, atau semboyan
Bersatulah wahai kaum melarat yang menggema dalam Natico Keempat CSI di
Surabaya pada tahun 1919 patut dikobarkan kembali untuk merebut kemerdekaan
sejati dari kaum neo-imprealis dan neo-kolonialisme.
Muhammad Kasman |
twitter: @KasmanMcTutu | surel: kasmanku@gmail.com | pin bbm: 321ced75 |
telp./sms/wa/line: 082293716538 | weblog: http://kasmanpost.blogspot.com
Posting Komentar