[26.09.2015] Gema takbir
membahana, suara serak yang melantunkannya menyiratkan kegembiraan yang begitu
mengharu biru. Cerahnya pagi disambut dengan rombongan orang ibarat kafilah
dagang berbondong-bondong menuju ke tempat pelaksanaan sholat Idul Adha’ dan
tempat penyembelihan hewan kurban. Langkah diiringi dengan berbagai macam
harapan.
Harapan akan mendapatkan
sekilo-dua kilo pembagian hewan kurban, impian untuk ketemu dengan orang
terkasih, khayalan untuk mendapat pehatian lebih karena nama disebut sebagai
penyumbang hewan kurban, sampai keinginan untuk sekedar menunjukkan bahwa baju
yang dipakainya lebih elite dari baju orang lain.
Takbir, tahlil dan tahmid
diaplikasikan dengan teriakan garang di tengah malam sambil melakukan
arak-arakan yang memekakkan telinga orang dengan deru kendaraan yang
ditumpangi, juga membuat orang harus menutup hidung untuk menjaga paru-parunya
dari semburan asap knalpot kendaraan.
Bahkan lebih parah lagi,
pengguna jalan yang lain dipaksa minggir dan memberi jalan karena mereka adalah
rombongan yang mengatasnamakan Tuhan. Merekalah arak-arakan kebenaran, mereka
para pendukung kebenaran, mereka para pentaskih kesucian.
Sakralnya silaturahmi, berkahnya
jabatan tangan, diterjyemahkan dengan mengulurkan tangan kepada para fakir
miskin dibawah sorotan blitz kamera para wartawan, ungkapan kesedihan melihat
kemiskinan material yang membelit orang lain, dilakukan di depan corong radio
yang merilay secara langsung.
Padahal, ibadah qurban adalah
ungkapan rasa syukur ke hadirat Ilahi rabbi. Ungkapan terima kasih tak
berhingga atas nikmat yang tak terhingga pula. Al Quran surah al Kautsar ayat 1
dan 2 mengingatkan “Sesungguhnya Kami telah memberi kamu nikmat yang banyak,
karena itu dirikanlah shalat karena Tuhanmu dan berqurbanlah.”
Berqurban bukanlah sebuah
proklamasi akan kehebatan dan ketinggian prestasi, berqurban justru bermakna
sebaliknya, sebagai sebentuk ungkapan ketundukan –ibadah, sebagaimana
layaknya sholat. Namun qurbah diutarakan melalui keikhlasan untuk berbagi
dengan sesama.
Jangan sampai air mata
diteteskan hanya penuh kepura-puraan ibarat turut merasakan kesulitan ekonomi
yang dirasakan orang lain.
Sesungguhnya ada yang lebih
patut dilakukan selain sekedar membagi hewan qurban, meneriakkan takbir, tahlil
dan tahmid dari atas mimbar atau meneteskan air mata kepura-puraan di bawah
sorotan kamera.
Sebuah tindakan yang mungkin
tidak begitu berarti bagi sebagian kita, bahkan terasa lucu. Tindakan itu
adalah menangis, meneteskan air mata. Tapi ini bukan menangisi kemiskinan
material yang membelit keseharian, bukan menangisi pangkat, harta dan jabatan.
Kita sepatutnya menangis demi
sebuah kemiskinan iman dan kesadaran akan hakekat kehidupan dan kemanusiaan.
Kita sepantasnya menangisi derajat taqwa yang selama ini hanya menyadi impian
--itu kalau sempat. Padahal taqwa adalah kunci dari qurban.
Ketika menceritakan kisah
tentang pengorbanan dua putra Nabi Adam as. –Habil dan Qabil, maka Al
Quran surat al-Maaidah ayat 27 menegaskan bahwa Allah hanya akan menerima
qurban mereka yang bertaqwa.
“Dan ceritakanlah (Muhammad)
kepada mereka kisah kedua putra Adam (Habil dan Qabil) yang sebenarnya, ketika
keduanya mempersembahkan qurban, maka diterima dari salah seorang dari mereka
berdua (Habil) dan tidak diterima dari yang lain (Qabil). Ia berkata (Qabil):
‘Aku pasti membunuhmu!’. Berkata Habil: "Sesungguhnya Allah hanya menerima
(qurban) dari orang-orang yang bertakwa.”
Maka, menangisi ketiadaan iman
dan taqwa dalam prosesi ibadah qurban, adalah tindakan pengorbanan yang
sebenar-benarnya berkorban, inilah kurban hakiki. Yang dibutuhkan bukan cuma
kurban sapi atau kambing yang disembelih demi nama besar.
Yang dibutuhkan adalah cucuran
air mata yang mengalir mengiringi doa-doa keselamatan yang dilantunkan untuk
para musthad’afien dari hati yang tulus dan ikhlas, sehingga setiap butirnya
mewakili cucuran keberkatan rahmat ilahi.
Qurban sendiri berasal dari
bahasa arab: qarraba, yuqarribu, qurbaanan yang artinya berhampir atau
mendekatkan diri kepada Allah swt. Menangis atas kelalaian dalam prosesi qurban
adalah ungkapan penyesalan, upaya mengikhlaskan dan membersihkan diri dari
anasir riya dan kepalsuan niat.
Dalam surah al Baqarah ayat 222,
Allah mengisyaratkan, “Sesungguhnya Allah mencintai orang yang banyak
bertaubat dan memelihara kesucian dirinya.” Maka qurban akan menjadi
wasilah bagi kian dekatnya diri dengan Allah bila diiringi dengan taubat dan
keterjagaan kesucian, baik lahir maupun batin.
Maka,
mari berqurban dengan ikhlas dan redha hati, dan jangan segan untuk meneterskan
air mata, sebab hati yang kerontang butuh dibasuh dengan air mata ketulusan.
Bersihkan penglihatan kita dari debu-debu hasrat duniawi yang menggoda.
Luruskan hati,qurban itu ibadah, maka ikhlaslah, ikhlaslah, iklaslah, “mukhlisiina
lahud diin”....
Muhammad Kasman | twitter: @KasmanMcTutu
| surel: kasmanku@gmail.com | pin bbm: 321ced75 | telp./sms/wa/line:
082293716538 | weblog: http://kasmanpost.blogspot.com
Posting Komentar