Hilangnya Kesaktian Pancasila di
Pilkada
Oleh
Damang, SH.
Ada
banyak orang tahu akan hari kesaktian Pancasila hanya karena tragedi
pemberontak G-30 September PKI (Partai Komunis Indonesia). Sebuah pemberontakan
yang berusaha merongrong Pancasila. Maka pada esoknya, 1 Oktober 1965, menjadi
cikal bakal oleh pemerintahan orde baru mendaulat setiap 1 Oktober sebagai hari
kesaktian Pancasila.
Beda
dulu, beda sekarang, maka lebih baik hari kesaktian Pancasila untuk konteks
saat ini cukup digali makna dan faedahnya dalam menyongsong Pilkada 9 Desember
2015 nanti.
Hari
kesaktian pancasila itu kini menemukan momentumnya, sebab bertepatan dengan
atmosfer ruang publik yang kembali dihangatkan dengan kegaduhan wacana
Pemilihan Kepala Daerah. Pada poin inilah menjadi titik awal untuk menguji
kesaktian pancasila bagi calon-calon Kepala Daerah yang sudah resmi ditetapkan
oleh penyelenggara Pilkada dalam sebuah lembaga Komisi Pemilihan Umum Daerah
(KPUD).
Pancasila Pudar
Sudah
jamak diketahui kalau pada hakikatnya syarat pengusungan Calon Kepala Daerah,
selain yang harus mengumpulkan dukungan perseorangan, ada pula pencalonan
dengan alternatif dukungan berdasarkan gabungan partai politik. Artinya apa?
Bahwa berdasarkan UU Partai Politik, semua partai politik dalam pendiriannya
tidak boleh memiliki ideologi yang bertentangan dengan Pancasila. Bahkan tak
kurang dari sejumlah partai nasionalis sekuler dengan tegas-tegas mengakui
kalau Pancasila sebagai ideologi partainya.
Persoalannya
kemudian, apakah partai politik yang sudah mendaulat dirinya dalam tenun
Pancasila, bisa memunculkan Calon Kepala Daerah yang sesuai dengan Pancasila?
Jawabannya, belum tentu. Baik Partai Politik maupun Calon Kepala Daerahnya
masih setengah hati untuk mewujudkan ide filsufis sila keempat pancasila dalam
rangka menobatkan pemimpin yang hikmat kebijaksanaan.
Pancasila
dimuliakan dalam kata, tetapi dihinakan dalam perbuatan. Demikian cetus seorang
mantan Ketua Umum Muhammadiyah, Syafii Maarif. Alhasil, pesona Pancasila yang
telah diorbitkan oleh para pejuang kemerdekaan secara perlahan menjadi pudar.
Kendati UU Pilkada sudah sedemikian “perkasanya” mengamputasi praktik mahar
politik, tetapi kondisi faktual di lapangan, fenomena transaksi elit
tunapancasila bergerak bagai siluman. Sulit mengidentifikasi dan menelusuri
modus operandi kejahatan politik mereka.
Kalau
bukan karena kesadaran para elit partai sendiri beserta dengan Bakal Calon
Kepala Daerah yang menghargai nilai dan semangat yang dikandung oleh Pancasila,
maka boleh jadi kesaktian pancasila menjadi kendur. Kendur karena para Calon
Kepala Daerah yang akan mendayung kapal Indonesia menuju dermaga sejahtera,
telah mencabut Pancasila, satu persatu dari sila-sila yang dikandungnya.
Mustahil
kita akan mendapat hidangan Calon Kepala Daerah berwatak Pancasila, manakalah
dari sejumlah calon yang tersaji adalah calon yang telah terkikis moralnya,
adalah rasio teologiknya telah kalah, sehingga memilih untuk mendulang dukungan
perahu partai politik hanya dengan kepingan rupiah.
Dan
disaat yang bersamaan, kalau sudah terjadi transaksi haram yang demikian, jangan
pernah berharap mendapatkan Kepala Daerah yang memiliki rasa kemanusiaan dan
empati yang tinggi untuk rakyatnya. Sebuah “syahwat kuasa” dan “serakah” telah
menyelimuti dirinya, untuk mengembalikan “uang mahar”yang pernah dibagikannya.
Apalagi namanya kalau bukan korupsi dan menguasai aset sumber daya alam hanya
untuk keluarga dan koncoh-koncoh politiknya.
Apakah
yang diharapkan dari kesaktian Pancasila kalau hanya melahirkan pemimpin yang
serakah? Bukankah keserakahan akan memunculkan tingkat kesejahteraan yang tidak
merata? Dan ingat! Tat kalah rakyat dilanda kemiskinan dan derita akibat
keserakahan sang pemimpinnya, maka pada titik itu menjadi “lampu kuning” akan
goyahnya rasa persatuan itu.
Kendatipun
demikian, menemukan Kepala Daerah yang berwatak pancasila, Kepala Daerah yang
hikmat kebijaksanaan, Kepala Daerah yang mengutamakan keadilan sosial, menjadi
pekerjaan rumah yang maha berat. Ibarat mencari jarum di atas tumpukan jerami.
Tetapi menyalakan lilin harapan dalam kabut gelap demokrasi tetap masih penting
untuk ditemukan formulanya.
Solusi
jitu untuk menemukan kepala daerah berwatak pancasila adalah meletakkan
Pancasila secara radikal di pudak para Calon Kepala Daerah (meminjam gagasan
Yudi Latif dalam “Negara Paripurna”). Carilah Kepala Daerah yang memiliki
gagasan revolusioner untuk membuat Pancasila menjadi tegar, efektif, dan
menjadikan negara ini terkelola di atas rel kebenaran.
Kuntowijoyo
menyebutkan syarat perwujudan akan “radikalisasi pancasila” itu melalui lima
tahapan. Pertama, kembalikan Pancasila sebagai ideologi negara; Kedua,
kembangkan Pancasila sebagai ideologi menjadi Pancasila sebagai ilmu; Ketiga,
usahakan Pancasila mempunyai konsistensi dengan produk-produk
perundang-undangan, koherensi antar sila dan korespondensi dengan realitas
sosial; Keempat, jadikan Pancasila yang melayani kepentingan horizontal;
Kelima, jadikan Pancasila sebagai kritik kebijakan negara.
Calon Tunggal
Satu
hal yang tidak boleh pula terlupakan dalam tulisan ini, yakni fenomena Calon
tunggal Kepala Daerah.
Dalam
menyikapi persoalan “Calon tunggal Kepala daerah” kita sepertinya mengalami
krisis identitas, lupa untuk menggali dari nilai-nilai keadaban dan kearifan
yang telah dipancarkan sendiri oleh Pancasila. Alternatif itu telah disediakan
oleh Pancasila dengan prinsip permusyawaratannya, tetapi alih-alih kita sendiri
yang memudarkan falsafah terbaiknya.
Bahwa
pada sesungguhnya Pancasila tidak menganut demokrasi barat yang cenderung
liberal. Tetapi demokrasi kita adalah demokrasi Pancasila yang mencari pemimpin
merakyat, hikmat, soal memilihnya itu adalah jalan pemufakatan. Oleh karenanya,
jangan terlalu “pongah” dengan sistem demokrasi Barat, untuk mengatakan bahwa
pemufakatan hanya terletak pada pemerolehan suara mayoritas yang ditentukan di
bilik-bilik suara.
Mari
menggali dari bumi kearifan negeri kita sendiri. Sudah jauh hari dipraktikan
oleh komunitas adat daerah masing-masing, mengisi jabatan melalui pemukatan
bersama dengan cara aklmasi. Inilah hakikat dari pada rukun demokrasi kita yang
sesuai dengan jiwa masyarakatnya sendiri. Adalah menobatkan calon tunggal
dengan cara aklamasi, bukan kontestasi.
Kita
sepakat melantik langsung calon tunggal, karena itulah cermin dari calon
pemimpin terbaik dari yang terbaik, sehingga pada akhirnya demokrasi atas nama
rakyat beraklamasi untuk hanya memilih satu Calon Kepala Daerah.
Damang, SH | Mahasiswa
Pascasarjana Hukum Universitas Muslim Indonesia | Owner http://negarahukum.com
| Sekretaris Eksekutif Lembaga Bantuan Hukum dan Advokasi Pemuda Muslimin
Indonesia Wilayah Sulsel 2014 – 2018
Tulisan ini
dimuat di Harian Tribun Timur Makassar, Edisi Kamis, 1 Oktober 2015
Posting Komentar