Kawan, Sudah Sampai Kemana Hijrah Kita?
Oleh: Abdul Zahir,
S,Pd., M.Pd.
Tjokroaminoto
sebagai guru bangsa telah melakoni konsep hijrah yang telah teruraikan dengan
gamblang oleh islam yang termaktub dalam Al-Qur’an dan Al-Hadits. Hijrah lain
yang dilakukan oleh Tjokroaminoto adalah gerakan menuju pembaharuan.
Tjokroaminoto,
melakukan hijrah dalam artian meninggalkan keadaan lama
di mana masyarakat Hindia Belanda yang tadinya merupakan negeri jajahan menjadi
negeri yang merdeka yaitu dengan membuat pemerintahan sendiri. Konsep ini juga
dibahas dalam pemikiran Semaoen, murid Tjokroaminoto paling radikal.
Ia berpikiran bahwa
ia harus hijrah dari Sarekat Islam pimpinan Tjokro
karena dianggap tidak relevan dan terlalu menya-menye dan mendirikan Sarekat Islam Merah
sebagai tandingan yang begitu revolusioner. Sedangkan kita memandang hijrah sebagai usaha menunju nasib yang lebih
baik, hidup yang lebih tenteram, dan mungkin saja pekerjaan yang lebih baik.
Tjokroaminoto
selalu mempertanyakan kehijrahannya kepada Agus Salim atau orang terdekatnya.
Seperti dalam cuplikan dalam film “Guru Bangsa: Tjkroaminoto”, beliau
berkata kepada Agus Salim “Gus, sudah sampai kemana hijrah kita?”
Kepada istrinya
pun, Tjokroaminoto berulang-ulang mengucapkan kata hijrah. Ketika bercermin,
kata hijrah yang ia ucapkan. Di dalam hutan, hijrah lagi yang ia ucapkan. Terus
menerus kata hijrah tidak luput dari kata kunci utama dalam film itu.
Puncak hijrah
tertinggi menurut Tjokroaminoto adalah Setinggi-tingginya
Ilmu, Sepandai-pandainya Siasat Dan Semurni-murninya Tauhid. Kesimpulan tersebut di
tuangkan di dalam kongres Partai yang dipimpinnya sehingga menjadi Program Azaz
dan Tandhim partai.
Tjokroaminoto
menempatkan hijrah sebagai praktik emansipatoris, baik secara mental maupun
fisik, dari manusia terjajah menjadi manusia merdeka. “Jadilah seperti sumbu
api ini, membuat umat menjadi terang” begitu pesan yang diterima Tjokroaminoto.
Konsep Hijrah Tjokroaminoto semakin menyempurna
dengan menyandingkannya dengan konsep Iqro.
Hijrah menitikberatkan pada adanya perubahan yang sifatnya progresif, dan dasar
untuk melakukan perubahan tersebut adalah membaca.
Tjokroaminoto
menggambarkan Iqra bukan saja sebagai usaha kita
dalam membaca teks literatur, buku,
atau artikel. Kata ini tidak dimaknai secara harfiah saja, yakni membaca teks
belaka. Tjokroaminoto mengajarkan kita mengenai arti membaca secara lebih luas.
Penggalan kata
Zaman Baru merupakan pembacaan Tjokroaminoto terhadap keadaan dunia dan posisi
Hindia Belanda dalam perekonomian dan politik Indonesia. Namun di satu sisi,
membaca adalah sebuah bekal. Tetapi telah diperluas maknanya menjadi ‘membaca
keadaan sekitar’. Dengan iqra, Tjokroaminoto menjadi tahu keadaan di
sekitarnya, termasuk kondisi sosial-ekonomi rakyatnya.
Muhammad Saw adalah
tauladan utama dan kepadanya segala contoh bermuara dan Tjokroaminoto adalah
guru bangsa. Keduanya tak bisa disandingkan kemuliaannya. Konsep hijrah yang
ditetapkan Rasul kemudian diterjemahkan dan dimplemantasikan oleh
Tjokroaminoto. Dan keduanya (Muhammad Saw dan Tjokroaminoto) menganjurkan kita
untuk selalu berhijrah.
Sebuah kemestian
untuk berhijrah karena kita tidak ingin menjadi orang yang merugi, orang
berhijrah adalah orang beriman, menyeru pada kebaikan dan kesabaran.
Rasulullah Saw bersabda: “Hisablah (lakukan perhitungan atas) dirimu sebelum
dihisab oleh Allah, dan lakukanlah kalkulasi amal baik dan amal buruk sebelum
Allah memberikan kalkulasi amal atas dirimu.”
Sebagai penutup,
kembali kuajukan tanya Tjokroaminoto kepada Agus Salim dengan sedikit ubahan. “Kawan,
sudah sampai kemana hijrah kita?”
Abdul Zahir, S,Pd., M.Pd. | Ketua Bidang Pembinaan Kader dan Aparatur PW Pemuda Muslim
Sulsel 2014 – 2018 | Dosen Universitas Cokrominoto Palopo
Posting Komentar