PIMPINAN WILAYAH
PEMUDA MUSLIMIN INDONESIA
PROVINSI SULAWESI SELATAN 2014 - 2018
~Isy Kariman Aumut Syahidan~

Menjiwai Sumpah Pemuda di Pilkada

Menjiwai Sumpah Pemuda  di Pilkada
Oleh: Damang Averroes Al-Khawarizmi

Peringatan hari Sumpah Pemuda  yang jatuh setiap tanggal 28 Oktober memiliki makna, hakikat, dan nilai filsufis tersendiri dalam sosiohistorisnya.

Al-kisah, Sabtu Sore hingga Ahad Malam,  28 Oktober 1928 seluruh peserta kongres yang terdiri dari utusan Jong Java, Jong Sumatranen Bond, Jong Indonesia, Sekar Rukun, Jong Islamieten Bond, Jong Batak, Jong Celebes, Jong Ambon, Pemuda Kaum Betawi dan beberapa utusan lain menyatakan sepakat mencetuskan Sumpah Pemuda. Sebuah sumpah untuk menanggalkan segala entitas kedaerahan yang melekat dalam dirinya, demi merebut kemerdekaan dan melepaskan penderitaan dari penjajah.

Tiga tokoh anak muda yang paling berperan dalam rumusan ikrar Sumpah Pemuda  itu. Adalah:  Muhammad Yamin, Soegondo, dan Amir Syarifuddin.

Pertama-tama,  Muhammad Yamin menuliskan naskah Sumpah Pemuda, kemudian menyerahkan naskahnya dengan wajah meriang lagi hati nan tulus pula, sambil beradu pandang dengan ketua kongres, Soegondo. Dan sesaat kemudian Soegondo menyetujuinya.

Soegondo meminta pula persetujuan Amir Syarifuddin ihwal naskah itu. Ia mengangguk-anggukkan kepalanya. Dan dengan sigapnya Amir Syarifuddin pun memberikan tanda setuju. Seterusnya, naskah itu diserahkan ke seluruh utusan, hingga  semuanya pada menyatakan “sepakat.”

Sumpah tersebut lalu didendangkan Soegondo, dan kemudian dijelaskan panjang lebar oleh Yamin. Dan terakhir, disahkan.

Sumpah serapah anak-anak muda itu, menjadi tonggak  meletupnya sejarah untuk bangsa Indonesia, demikian bunyinya: “Kami Putera Dan Puteri Indonesia Mengaku Bertumpah Darah Yang Satu, Tanah Indonesia/ Kami Putera Dan Puteri Indonesia Mengaku Berbangsa Yang Satu, Bangsa Indonesia/ Kami Putera Dan Puteri Indonesia Menjunjung Bahasa Persatuan, Bahasa Indonesia.”

Perihal substansi sumpah anak-anak muda, terkandung di dalamnya: cita-cita moral, hukum, dan falsafati kebangsaan yang tak jauh berbeda dengan “nilai-nilai” dalam rumusan Piagam Jakarta. Sehingganya, menghadirkan kembali nilai-nilai yang mengilhami para anak muda waktu itu, dalam momentum riuhnya gelombang pertama Pilkada Serentak tahun ini, sungguh banyak kehidmatan bisa mengantarkan kita pada perwujudan Pemilihan Kepala Daerah yang benar-benar demokratis.

Sumpah Pemuda
Mewujudkan Pemilihan Kepala Daerah, sarat akan demokrasi yang subtantif, aktualisasi lahirnya Sumpah Pemuda  bisa dijadikan pedoman hukum tertinggi. Bahwa tradisi anak-anak muda yang rela melepaskan sekat-sekat sosialnya, pada asalinya memberikan makna semiotik dalam konteks kekinian. Hendaknya, dalam menobatkan Kepala Daerah layak pilih pun tidak boleh dilandasi pada hadirnya deferensiasi sosial, karena perbedaan ras, suku, agama, dan golongan.

Makna hakiki dan jiwa yang terabsorbsi dari lahirnya Sumpah Pemuda, proses pengintegrasian yang dibingkai dalam kesamaan kehendak, consensus, dan aspirasi daulat rakyat, menunjukan kalau ajang Pemilihan Kepala Daerah tidak membenarkan penghinaan, fitnah, dan penghasutan antar struktur-struktur sosial sebagai kondisi natural kemajemukan bangsa ini.

Makanya “black campaign” kemudian menjadi haram untuk dipraktikan. Sebab apa? Itu semua  demi menorehkan demokrasi yang utuh, demokrasi yang subtantif bagi setiap rakyat pemilih di negeri ini.

Tanah air Indonesia dalam tumpah darahnya mendesirkan demokrasi untuk semua. Tanpa memandang laki-laki dan perempuan. Bahwa ketika prasyarat konstitusional hak pilih telah dititahkan kepadanya, maka mutatis mutandis tanah airnya adalah tanah kedaulatan yang kelak menjadi urusan kepala daerah terpilih.

Otoritatif memang diberikan pada Kepala Daerah, tetapi terbatasi dalam bingkai kewenangan. Sumpah sebagai bangsa yang satu, bangsa yang terdiri dari banyak rakyat pemilih, ketika memberikan suaranya, di situlah “legalitasnya” mengalami pembatasan agar hak rakyat, kelak jangan dicaplok semua oleh pemimpin daerah. Karena kalau terjadi pencaplokan secara total terhadap rakyat, maka  bangsa ini bukan lagi bangsa yang bertanah air satu, bukan lagi bangsa yang berdiri di atas pondasi Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Bahasa Demokrasi
Dan sungguh betapa cerdasnya para pengusung Sumpah Pemuda  yang bisa merekatkan seluruh etnis bangsa Indonesia. Bisa menjalin komunikasi tanpa tersandera dengan bahasa derahnya masing-masing.

Bahasa Indonesia adalah bahasa demokrasi, sebagai sarana penghantar penyatuan atas banyaknya kepentingan dari segala eleman bangsa ini.  

Jauh hari sebelum kata demokrasi tertorehkan dalam konstitusi kita, pada sesunggunya dari para pencetus Sumpah Pemuda   berhasil menggali akar kebudayaannya sendiri. Bahwa dengan bahasa melayu yang kemudian lebih disepakati dijadikan sebagai bahasa Indonesia, maka saat ini tidak menjadi hambatan untuk merekatkan semuat etnis yang bertahan pada bahasa lokalnya.  Bahasa Indonesia telah menjadi sumbu utama untuk dipertemukan dalam keadaban; civil society dan demokrasi.

Tantangan yang dihadapi oleh bangsa ini tidaklah serumit dulunya untuk menggaungkan kemerdekaan dengan rasa persatuan. Para anak-anak muda, dulunya selalu merasa terintimidasi untuk mencetuskan persamaan hak, kebebasan, dan kemerdekaan.

Ketika terdapat keberanian meneriakan kata “kemerdekaaan dan kebebasan”  ada-ada saja pengawal dari para penjajah yang selalu sigap membungkam mulutnya. Maka kata itu kemudian diperdengarkan secara denotatif. Kala “suara jiwa” dari rasa kemerdekaan dengan hentakan lagu Indonesia raya, alih-alih hendak diucapkan dalam kata, terpaksa dialihfungikan, cukup saja melalui suara biola.

Maka apalah jadinya saat ini. jika kita gagal menjiwai Sumpah Pemuda, yang telah mewarisakan “cerita sukses” dalam menghapus segala sekat sosial dan ego sektoral, semata-mata demi kemerdekaan.

Penderitaan yang sudah dialami oleh anak-anak muda, para pejuang Sumpah Pemuda. Adalah anak bangsa yang tidak takut mati. Pun kalau nyawa menjadi taruhannya di hadapan penjajah, mereka selalu bergerak maju untuk memuliakan harga diri bangsanya.


Mari menghelat demokrasi lokal, Pemilihan Kepala Daerah dengan meletakkan semangat jiwa Sumpah Pemuda. Tunaikanlah Pilkada tanpa direcoki oleh kepentingan ego sektoral. Primordialisme, dan etnosentrisme mutlak ditanggalkan demi melahirkan pemimpin yang bertanah air satu dengan rakyatnya, pemimpin  yang berbangsa satu dengan rakyatnya, pemimpin yang berbahasa (sejahtera) satu dengan rakyatnya. Semuanya, rasa kebersamaan dan rasa persatuan itu kini harus diikat dalam sapu jagat demokrasi.


Damang Averroes Al-Khawarizmi | Mahasiswa Pascasarjana Hukum Universitas Muslim Indonesia | Owner http://negarahukum.com | Sekretaris Eksekutif Lembaga Bantuan Hukum dan Advokasi Pemuda Muslimin Indonesia Wilayah Sulsel 2014 – 2018
Share this post :

Posting Komentar

 
Support : TurungkaNews | PB PemudaMuslim | KasmanPost
Copyright © 2015. Pemuda Muslimin Indonesia Sulsel - All Rights Reserved
Template by Cara Gampang Published by Cargam Template
Proudly powered by Blogger