Menjiwai Sumpah Pemuda di Pilkada
Oleh: Damang Averroes Al-Khawarizmi
Peringatan hari Sumpah Pemuda yang jatuh setiap tanggal 28 Oktober memiliki
makna, hakikat, dan nilai filsufis tersendiri dalam sosiohistorisnya.
Al-kisah, Sabtu Sore hingga Ahad Malam, 28 Oktober 1928 seluruh peserta kongres yang
terdiri dari utusan Jong Java, Jong
Sumatranen Bond, Jong Indonesia, Sekar Rukun, Jong Islamieten Bond, Jong Batak,
Jong Celebes, Jong Ambon, Pemuda Kaum Betawi dan beberapa utusan lain
menyatakan sepakat mencetuskan Sumpah Pemuda. Sebuah sumpah untuk menanggalkan
segala entitas kedaerahan yang melekat dalam dirinya, demi merebut kemerdekaan dan
melepaskan penderitaan dari penjajah.
Tiga tokoh anak muda yang paling berperan dalam rumusan ikrar
Sumpah Pemuda itu. Adalah: Muhammad Yamin, Soegondo, dan Amir
Syarifuddin.
Pertama-tama, Muhammad
Yamin menuliskan naskah Sumpah Pemuda, kemudian menyerahkan naskahnya dengan
wajah meriang lagi hati nan tulus pula, sambil beradu pandang dengan ketua
kongres, Soegondo. Dan sesaat kemudian Soegondo menyetujuinya.
Soegondo meminta pula persetujuan Amir Syarifuddin ihwal
naskah itu. Ia mengangguk-anggukkan kepalanya. Dan dengan sigapnya Amir Syarifuddin
pun memberikan tanda setuju. Seterusnya, naskah itu diserahkan ke seluruh
utusan, hingga semuanya pada menyatakan “sepakat.”
Sumpah tersebut lalu didendangkan Soegondo, dan kemudian
dijelaskan panjang lebar oleh Yamin. Dan terakhir, disahkan.
Sumpah serapah anak-anak muda itu, menjadi tonggak meletupnya sejarah untuk bangsa Indonesia,
demikian bunyinya: “Kami Putera Dan
Puteri Indonesia Mengaku Bertumpah Darah Yang Satu, Tanah Indonesia/ Kami
Putera Dan Puteri Indonesia Mengaku Berbangsa Yang Satu, Bangsa Indonesia/ Kami
Putera Dan Puteri Indonesia Menjunjung Bahasa Persatuan, Bahasa Indonesia.”
Perihal substansi sumpah anak-anak muda, terkandung di
dalamnya: cita-cita moral, hukum, dan falsafati kebangsaan yang tak jauh
berbeda dengan “nilai-nilai” dalam rumusan Piagam Jakarta. Sehingganya,
menghadirkan kembali nilai-nilai yang mengilhami para anak muda waktu itu,
dalam momentum riuhnya gelombang pertama Pilkada Serentak tahun ini, sungguh banyak
kehidmatan bisa mengantarkan kita pada perwujudan Pemilihan Kepala Daerah yang
benar-benar demokratis.
Sumpah Pemuda
Mewujudkan Pemilihan Kepala Daerah, sarat akan demokrasi yang
subtantif, aktualisasi lahirnya Sumpah Pemuda bisa dijadikan pedoman hukum tertinggi. Bahwa
tradisi anak-anak muda yang rela melepaskan sekat-sekat sosialnya, pada
asalinya memberikan makna semiotik dalam konteks kekinian. Hendaknya, dalam
menobatkan Kepala Daerah layak pilih pun tidak boleh dilandasi pada hadirnya
deferensiasi sosial, karena perbedaan ras, suku, agama, dan golongan.
Makna hakiki dan jiwa yang terabsorbsi dari lahirnya Sumpah
Pemuda, proses pengintegrasian yang dibingkai dalam kesamaan kehendak, consensus, dan aspirasi daulat rakyat,
menunjukan kalau ajang Pemilihan Kepala Daerah tidak membenarkan penghinaan, fitnah,
dan penghasutan antar struktur-struktur sosial sebagai kondisi natural
kemajemukan bangsa ini.
Makanya “black
campaign” kemudian menjadi haram untuk dipraktikan. Sebab apa? Itu
semua demi menorehkan demokrasi yang
utuh, demokrasi yang subtantif bagi setiap rakyat pemilih di negeri ini.
Tanah air Indonesia dalam tumpah darahnya mendesirkan
demokrasi untuk semua. Tanpa memandang laki-laki dan perempuan. Bahwa ketika prasyarat
konstitusional hak pilih telah dititahkan kepadanya, maka mutatis mutandis
tanah airnya adalah tanah kedaulatan yang kelak menjadi urusan kepala daerah
terpilih.
Otoritatif memang diberikan pada Kepala Daerah, tetapi terbatasi
dalam bingkai kewenangan. Sumpah sebagai bangsa yang satu, bangsa yang terdiri
dari banyak rakyat pemilih, ketika memberikan suaranya, di situlah
“legalitasnya” mengalami pembatasan agar hak rakyat, kelak jangan dicaplok
semua oleh pemimpin daerah. Karena kalau terjadi pencaplokan secara total
terhadap rakyat, maka bangsa ini bukan
lagi bangsa yang bertanah air satu, bukan lagi bangsa yang berdiri di atas
pondasi Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Bahasa Demokrasi
Dan sungguh betapa cerdasnya para pengusung Sumpah Pemuda yang bisa merekatkan seluruh etnis bangsa
Indonesia. Bisa menjalin komunikasi tanpa tersandera dengan bahasa derahnya
masing-masing.
Bahasa Indonesia adalah bahasa demokrasi, sebagai sarana
penghantar penyatuan atas banyaknya kepentingan dari segala eleman bangsa ini.
Jauh hari sebelum kata demokrasi tertorehkan dalam konstitusi
kita, pada sesunggunya dari para pencetus Sumpah Pemuda berhasil menggali akar kebudayaannya sendiri.
Bahwa dengan bahasa melayu yang kemudian lebih disepakati dijadikan sebagai
bahasa Indonesia, maka saat ini tidak menjadi hambatan untuk merekatkan semuat etnis
yang bertahan pada bahasa lokalnya.
Bahasa Indonesia telah menjadi sumbu utama untuk dipertemukan dalam
keadaban; civil society dan
demokrasi.
Tantangan yang dihadapi oleh bangsa ini tidaklah serumit
dulunya untuk menggaungkan kemerdekaan dengan rasa persatuan. Para anak-anak
muda, dulunya selalu merasa terintimidasi untuk mencetuskan persamaan hak, kebebasan,
dan kemerdekaan.
Ketika terdapat keberanian meneriakan kata “kemerdekaaan dan kebebasan” ada-ada saja pengawal dari para penjajah yang
selalu sigap membungkam mulutnya. Maka kata itu kemudian diperdengarkan secara denotatif.
Kala “suara jiwa” dari rasa kemerdekaan dengan hentakan lagu Indonesia raya,
alih-alih hendak diucapkan dalam kata, terpaksa dialihfungikan, cukup saja
melalui suara biola.
Maka apalah jadinya saat ini. jika kita gagal menjiwai Sumpah
Pemuda, yang telah mewarisakan “cerita sukses” dalam menghapus segala sekat
sosial dan ego sektoral, semata-mata demi kemerdekaan.
Penderitaan yang sudah dialami oleh anak-anak muda, para
pejuang Sumpah Pemuda. Adalah anak bangsa yang tidak takut mati. Pun kalau
nyawa menjadi taruhannya di hadapan penjajah, mereka selalu bergerak maju untuk
memuliakan harga diri bangsanya.
Mari menghelat demokrasi lokal, Pemilihan Kepala Daerah dengan
meletakkan semangat jiwa Sumpah Pemuda. Tunaikanlah Pilkada tanpa direcoki oleh
kepentingan ego sektoral. Primordialisme, dan etnosentrisme mutlak ditanggalkan
demi melahirkan pemimpin yang bertanah air satu dengan rakyatnya, pemimpin yang berbangsa satu dengan rakyatnya, pemimpin
yang berbahasa (sejahtera) satu dengan rakyatnya. Semuanya, rasa kebersamaan
dan rasa persatuan itu kini harus diikat dalam sapu jagat demokrasi.
Damang Averroes Al-Khawarizmi | Mahasiswa Pascasarjana Hukum Universitas Muslim Indonesia | Owner http://negarahukum.com | Sekretaris Eksekutif Lembaga Bantuan Hukum dan Advokasi Pemuda Muslimin Indonesia Wilayah Sulsel 2014 – 2018
Posting Komentar