Pendidikan Agama yang Gagal
Oleh: Arhanuddin Salim, S.Pd.I., M.Pd.I
Secara
historis, kita mengetahui bahwa pendidikan sekaligus sistem dan institusinya
sebenarnya telah hadir mengiringi perkembagan peradaban manusia semenjak tahun
900-an SM. Pada saat itu system pendidikan mula-mula dikembangkan di kota
Sparta (Thompson, 1951:1), apa artinya? Artinya bahwa hakekat pendidikan
sebagai sebentuk transformasi menuju perubahan-perubahan tertentu telah
diyakini manusia sebagai alat yang efektif sejak dahulu kala.
Berbagai
usaha yang dilakukan manusia untuk menyelenggarakan pendidikan di masa lampau
lambat laun memunculkan institusi pendidikan dan sisitem pendidikan seperti
yang ada sekaran ini.Kita mengenal adanya akdemia di Yunani, padepoakn atau
pesantren di Jawa, monastery dikalangan gereja, madrasah dikalangan muslim,
ataupun santiniketan di India dan sebagainya.
Berbagai
institusi tersebut diyakini bisa mengubah manusia menjadi lebih baik, lebih
beradab dan berbudaya.
Pergumulan
manusia dengan lingkungan alam yang keras telah mendidik manusia berhati
lembut, berbudi luhur, saling megasihi antarsesama dan memperlakukan lingkungan
dengan alamnya secara manusiawi pula. Hadirnya moderenisasi disegala lini
kehidupan dewasa ini, tak pelak juga merupakan sumbangsih pemikiran dari dunia
pendidikan tentunya.
Dalam
dunia pendidikan sendiri hadir beragam model sekolah dan universitas, akademi
dan perguruan tinggi serta bermacam-macam lainnya.
Selanjutnya
sesuai dengan tema di atas, penulis ingin menguraikan seperti apa pendidikan agama
yang selama ini dicerna oleh anak bangsa di negeri kita ini. Sebab harus diakui
bahwa bagaimanapun dalam sisitem pendidikan nasional kita, pendidikan agama
menjadi bagian yang terintegral secara utuh dan menyeluruh.
Namun
sampai saat ini menurut hemat penulis, pendidikan agama belum mampu memberikan
kontribusi yang besar terhadap proses mencerdasan kehidupan bangsa yang menjadi
cita-cita luhur dalam sisitem pendidikan nasional kita.
Kegagalan Pendidikan Agama
Pelaksanaan
pendidikan agama di Indonesia gagal membentuk manusia-manusia yang memiliki
budi pekerti sebagaimana yang diajarkan oleh agamanya masing-masing, ungkapan
ini sesungguhnya bernada ketus sekaligus memilukan bagi stekholder yang memegang
kendali penyelenggaraan proses pendidikan agama di Indonesia.
Selanjutnya,
kendati sulit dibantah bahwa ternyata sampai saat ini juga banyak tokoh-tokoh
nasional di negeri ini yang lahir dari rahim pendidikan agama yang gagal
tersebut. Hemat penulis, pelajaran agama yang diajarkan di sekolah-sekolah
agama bahkan nyaris diperguruan tinggi agama lebih banyak yang bersifat ritual
dan dogmatik.
Pelajaran
agama tersebut masih berkisar pada pengajaran tentang persoalan hukum-hukum,
aturan-aturan, larangan-larangan dan lainsebaginya. Pelajaran agama yang
demikian kurang menyentuh hal yang sangat mendasar yang berkaitan dengan
persoalan iman, harapan, dan kasih sayang.
Tekanan
pengajaran agama masih terletak pada to have religion, bukannya pada to be
religious. Orentasi pelajaran semacam ini masih menekankan sifat kesalehan
individual daripada kasalehan sosial. Orang yang punya agama belum tentu
beriman dan bertaqwa, tapi ada orang yang tidak mempunyai agama, namun hidunya
lebih beriman dan bertaqwa kepada Tuhan.
Persoalannya
adalah bagaimana agama yang diajarkan di sekolah-sekolah atau perguruan tinggi
mampu membebaskan anak didiknya dari kesempitan ritualitas, kepicikan dan
panatisme buta.
Agama Yang Berwawasan
Agama
yang diajarkan disekolah seharusnya mampu membuka wawasan anak didik untuk
meningkatkan keimanan dan ketaqwaan. Dalam hal ini sebagimana yang diungkapkan
oleh soedajatmoko mengenai pendidikan, beliau mengatakan bahwa agama seharusnya
mampu mewujudan kembali konfigurasi nilai-nilai luhur yang etis.
Yang
dimaksudkan beliau disini adalah bahwa agama bertugas merajut dan mencandra
nilai-nilai kemanusian yang hakiki. Nilai-nilai inilah yang menjadi dasar
keimanan dan ketakwaan sebagai bekal untuk menapaki kehidupan di masa yang akan
datang.
Menurut
penulis, orentasi pendidikan agama tidaklah cukup kalau hanya menyangkut
hal-hal yang luar, seperti upacara, ritus, hukum, simbol-simbol, segi-segi
sosiologis maupun segi politis dari gejala yang disebut agama. Agama tidak bisa
disamakan hanya dengan semua segi luar tersebut, meski juga diakaui bahwa
segi-segi luar itu menjadi bagian yang tak terpisahkan oleh agama.
Dengan
kalimat-kalimat tesebut, penulis ingin mengatakan bahwa dalam agama yang
dipentingkan buklanlah huruf-huruf yang tersusun menjadi hukum-hukum baik
perintah maupun larangan, tapi yang lebih penting dari itu adalah ruh atau
semangat dari hukum-hukum tersebut, yakni iman, harapan dan kasih sayang. Dalam
hal ini orang harus membedakan antara beragama dan beriman.
Sementara
pelajaran agama selama ini menurut pengamatan penulis, terjebak pada upaya
membuat orang beragama tapi melupakan substansi dari agama itu sendiri yakni
iman dan kasih sayang.
Pengandaiannya
dengan beragama (to have religion), maka otomatis orang akan beriman. Padahal,
orang yang beragama secara taat, ke gereja tiap minggu atau bahkan tiap hari,
atau mungkin juga tiap hari ke masjid berjamaah dengan segala pernak pernik
simbolitas keagamaan, belum tentu dan tidak menjadi ukuran beriman dan
bertaqwanya seseorang kepada Tuhan.
Pendidikan
agama kita sekarang ini terkesan membuat orang menjadi suci, taat pada aturan
agama sampai sedetai-detailnya (kesalehan individual) tetapi kurang memberi
perhatian dan apresiasi yang dalam terhadap masalah-masalah sosial (kesalehan
social).
Pendidikan
semacam ini bisa saja menghasilkan anak yang saleh tetapi picik, arogan, dan
ingin menang sendiri karena diliputi oleh egoisme yang tinggi. Seharusnya arah
dasar dari pendidikan agama adalah membawa orang (anak didik dan juga yang
mendidik) untuk makin beriman dan bertaqwa bukan sekedar beragama an sich;
membawa orang untuk to be religions, bukan sekedar to have religion.
Yang
dinamakan religiusitas itu adalah disposisi atau sikap dasar dan sebuah
karakter diri yang membuat orang beramal baik, bersifat penuh kasih sayang,
merasa rindu serta terawasi dan ingin dekat dengan Tuhan.
Dalam
bahasa Santo Paulus, yang hakiki adalah apa yang disebut sebagai “hidup di
dalam roh”, atau kata Muhammad S.aw, manusia yang baik adalah manusia yang
senantiasa bermamfaat bagi manusia yang lain.
Pendidikan Agama yang Menyenangkan
Religiusitas
(iman, taqwa, harapan dan cinta kasih) yang merupakan tujuan pendampingan dan
pembinaan anak didik kita merupakan hal yang paling penting dan vital. Agama
memang penting, tapi ia bukanlah tujuan.
Agama
tidak lebih hanyalah jalan, wahana, sarana demi mencapai iman dan taqwa yang
hakiki. Iman dan takqa juga bukan merupakan monopoli dari satu dua agama saja,
tetapi menyangkut sejauh mana aktualisasi nilai-nilai agama yang dihayati dan
diamalakan dalam kehidupan sehari-hari.
Tawaran
ini mengandaikan pelajaran agama tidak lagi formalistik atau pengajaran
konvensional dimana anak didik disodori untuk menghapal rumusan dan teks-teks
suci agama, tetapi anak didik diajak untuk merefleksikan pengalaman imannya
lewat peristiwa dan kejadian yang dialami dalam kehidupan sehari-harinya,
kemudian dijadikan bahan untuk menumbuhkan dan menyegarkan keimanannya untuk
memahami segala sesuatu yang terjadi disekelilinnya.
Intinya,
yang diajarkan bukan melulu pelajaran agama yang tidak bisa menyapa zaman,
sebab pengetahuan agama belum tentu menjamin orang bersangkutan untuk hidup
sesuai dengan pengetahuan agama yang dimilikinya.
Itulah
sebabnya, pengajaran agama harus terkait dengan realitas kehidupan dimana
dimana anak didik diajak secara aktif melihat, mengamati, mengambil sikap
terhadap kejadian yang dialaminya, bukan hanya sekedar hafalan yang melekat di
bibir dan mewarnai kulit, tetapi tidak mampu mengubah perilaku.
Karena
itu sudah selayaknya pola pembinaan agama yang diajarakan di sekolah dan di
perguruan tinggi tidak sekedar transfer ilmu, tapi mengajarkan pendidikan agama
yang substansial, santun, dan otentik.
Akhirnya,
pendidikan agama yang menyenankan sesungguhnya adalah pendidikan agama yang
lebih berorientasi pada pendalaman dan penghayatan nilai-nilai, bukan lagi pada
indoktrinasi, tapi juga menyentuh hal yang mendasar dan sederhana yakni
kejujuran, cinta kasih, fairplay dan tanggun jawab. Semoga, wallahu a’lam.
Posting Komentar