[02.11.2015] Hasil
penelitian Badan Nasional Penanggulangan Terorisme sebagaimana dimuat di Harian
Amanah (28/10/2015) menunjukkan bahwa persentase potensi terorisme di usia muda
sangat tinggi. Di bawah umur 21 tahun (11,8 persen), umur 21 - 30 tahun (47,3
persen), umur 31 - 40 tahun (29,1 persen), dan umur di atas 40 tahun sebesar
11,8 persen.
Angka
ini seharusnya menjadi keprihatinan bersama, sebab saat ini, jumlah penduduk
yang berada di usia produktif mencapai angka di atas 60 persen dari jumlah
penduduk kita. Bila tidak ada langkah penanganan serius dan bersifat
komprehensif atas situasi ini, maka tak menutup kemungkinan, Indonesia akan
menjadi produsen terorisme dalam jumlah yang tidak kecil.
Kondisi
ini diperparah dengan kian kreatifnya metode rekruitmen pelaku teror baru yang
digunakan oleh jaringan teroris. Dengan kian pesatnya perkembangan teknologi
informasi, mereka memanfaatkan beragamnya media sosial yang bisa diakses dengan
mudah oleh para pemuda untuk menginfiltrasi kesadaran dan mengkonstruksi
keyakinannya dengan klaim kebenaran dan klaim keselamatan yang ekslusif,
radikal dan fanatik buta.
Belum
lagi soliditas dan ketahanan keluarga yang kian renggang. Banyak orang tua yang
terlalu sibuk dengan urusan duniawi, terkadang alpa akan penanaman aqidah dan
kesadaran yang tepat bagi anaknya yang sudah beranjak dewasa. Maka begitu
mendapatkan pemahaman (keagamaan)
yang bisa mengakomodasi gejolak jiwa mudanya, mereka gampang tersulut dan
menjadi radikalis.
Pun
masyarakat yang makin permisif, cenderung enggan mengambil resiko untuk sekedar
menegur perilaku menyimpang yang ada di lingkungannya, membuat jaringan teroris
bisa mereproduksi pasukan teror baru tanpa hambatan sosial yang berarti.
Individualisme menjadi ruang lapang bagi aktivitas transformasi pemahaman
ekstrim.
Lalu,
bagaimana menghadapi kondisi ini? Apakah lebih baik kita biarkan remaja Islam
dan pemuda muslim jauh dari ajaran agama agar mereka tidak gampang terjebak
pada pemahaman agama yang radikal? Tentu tidak. Sebab secara ideal, seorang
muslim harus memahami prinsip-prinsip dasar agamanya secara fundamental. Tentu
fundamentalitas pemahaman yang dimaksud berbeda dengan ekstrimisme eklusif.
Mengenai
kualifikasi pemuda muslim yang memiliki pemahaman terhadap fundamen agama Islam
secara baik, dicontohkan oleh al-Qur'an dalam kisah para pemuda kahfi. Dalam
surah al-Kahfi (18) ayat 13 - 14, disebutkan bahwa pemuda ideal itu, “Seseungguhnya mereka (pemuda itu) beriman
kepada Tuhannya dan Kami tambahkan kepada mereka petunjuk. Dan kami teguhkan
hati mereka...”
Beriman
kepada Allah meniscayakan tumbuh-kembangnya keyakinan bahwa kesatuan Tuhan juga
berarti kesatuan manusia. Sehingga keimanan pada esa-nya Allah, menjadi dasar
kecintaan pada kemanusiaan. Kebenaran tidak dibuktikan dengan membenci dan
menafikan, melainkan memuliakan manusia dan meninggikan nilai-nilai luhur
kemanusiaan yang adil dan beradab.
Keyakinan
pemuda yang sedemikian ini menjadi wasilah turunnya petunjuk dari Allah. Sebab
Allah adalah guru pertama dan utama, “Yang
mengajar (manusia) dengan qalam. Dia mengajarkan manusia apa yang tidak
diketahuinya.” (Q.S. 96 : 4 - 5). Mereka yang beriman dengan benar,
senantiasa berlandaskan pada iqra bi ism
rabbik, membaca dengan nama Tuhan. Bukan karena doktrin sesat dan
menyesatkan.
Untuk
menanamkan pemahaman yang baik dan benar pada remaja Islam dan pemuda muslim
agar mereka sekualitas pemuda kahfi, maka peran organisasi kepemudaan Islam
perlu dioptimalkan. Dalam organisasi itulah mereka digembleng dengan pemahaman
keagamaan yang mengedepankan kemanusiaan, menghargai keragaman dan tidak
menafikan nilai-nilai kebangsaan.
Meminjam
penjelasan guru bangsa, HOS Tjokroaminoto dalam tulisan monumentalnya, Moeslim Nationaal Onderwijs, menjelaskan
bahwa pendidikan selayaknya mengantarkan manusia pada kemerdekaan, menanam
keberanian yang luhur, benih peri kebatinan yang halus, benih kehidupan yang
shaleh, dan rasa kecintaan terhadap tanah tumpah darah. Organisasi kepemudaan Islam
bisa menjadi katalisator bagi proses pembinaan pemuda terkait hal ini.
Selain
melakukan pembinaan pemuda melalui pendidikan dan pelatihan, organisasi
kepemudaan juga menjalankan fungsi sebagai peer
group –kelompok teman sebaya.
Sebab, pemuda lebih mudah terpengaruh oleh lingkaran kecil pergaulannya dibanding
yang lain. Maka dalam sebuah peer group
yang diinisiasi oleh organisasi kepemudaan, mereka bisa menemukan role model praktik keagamaan yang
santun, dinamis, menghargai pluralitas, dan mencitai kemanusiaan serta tanah
airnya.
Terakhir,
penting untuk digarisbawahi tentang fungsi media dalam menyajikan informasi
terkait ajaran agama yang tidak radikal. Olehnya itu, kehadiran media –cetak maupun elektronik, yang konsern
pada isu ini dengan konsep dan tampilan yang bisa diterima oleh generasi muda,
tentu akan berimplikasi positif bagi proses de-radikalisasi pemahaman
keagamaan. Sehingga pemuda bisa memahami prinsip-prinsip dasar dan kebenaran
fundamen agamanya secara tepat.
*Tulisan
ini dimuat di Harian Amanah, edisi Senin (02/11/015)
Muhammad Kasman | twitter:
@KasmanMcTutu | surel: kasmanku@gmail.com | weblog:
http://kasmanpost.blogspot.com | telp./sms/wa/line: 082293716538 | pin bbm:
321ced75
Posting Komentar