PIMPINAN WILAYAH
PEMUDA MUSLIMIN INDONESIA
PROVINSI SULAWESI SELATAN 2014 - 2018
~Isy Kariman Aumut Syahidan~

Menghadapi Potensi Terorisme Usia Muda

[02.11.2015] Hasil penelitian Badan Nasional Penanggulangan Terorisme sebagaimana dimuat di Harian Amanah (28/10/2015) menunjukkan bahwa persentase potensi terorisme di usia muda sangat tinggi. Di bawah umur 21 tahun (11,8 persen), umur 21 - 30 tahun (47,3 persen), umur 31 - 40 tahun (29,1 persen), dan umur di atas 40 tahun sebesar 11,8 persen.

Angka ini seharusnya menjadi keprihatinan bersama, sebab saat ini, jumlah penduduk yang berada di usia produktif mencapai angka di atas 60 persen dari jumlah penduduk kita. Bila tidak ada langkah penanganan serius dan bersifat komprehensif atas situasi ini, maka tak menutup kemungkinan, Indonesia akan menjadi produsen terorisme dalam jumlah yang tidak kecil.

Kondisi ini diperparah dengan kian kreatifnya metode rekruitmen pelaku teror baru yang digunakan oleh jaringan teroris. Dengan kian pesatnya perkembangan teknologi informasi, mereka memanfaatkan beragamnya media sosial yang bisa diakses dengan mudah oleh para pemuda untuk menginfiltrasi kesadaran dan mengkonstruksi keyakinannya dengan klaim kebenaran dan klaim keselamatan yang ekslusif, radikal dan fanatik buta.

Belum lagi soliditas dan ketahanan keluarga yang kian renggang. Banyak orang tua yang terlalu sibuk dengan urusan duniawi, terkadang alpa akan penanaman aqidah dan kesadaran yang tepat bagi anaknya yang sudah beranjak dewasa. Maka begitu mendapatkan pemahaman (keagamaan) yang bisa mengakomodasi gejolak jiwa mudanya, mereka gampang tersulut dan menjadi radikalis.

Pun masyarakat yang makin permisif, cenderung enggan mengambil resiko untuk sekedar menegur perilaku menyimpang yang ada di lingkungannya, membuat jaringan teroris bisa mereproduksi pasukan teror baru tanpa hambatan sosial yang berarti. Individualisme menjadi ruang lapang bagi aktivitas transformasi pemahaman ekstrim.

Lalu, bagaimana menghadapi kondisi ini? Apakah lebih baik kita biarkan remaja Islam dan pemuda muslim jauh dari ajaran agama agar mereka tidak gampang terjebak pada pemahaman agama yang radikal? Tentu tidak. Sebab secara ideal, seorang muslim harus memahami prinsip-prinsip dasar agamanya secara fundamental. Tentu fundamentalitas pemahaman yang dimaksud berbeda dengan ekstrimisme eklusif.

Mengenai kualifikasi pemuda muslim yang memiliki pemahaman terhadap fundamen agama Islam secara baik, dicontohkan oleh al-Qur'an dalam kisah para pemuda kahfi. Dalam surah al-Kahfi (18) ayat 13 - 14, disebutkan bahwa pemuda ideal itu, “Seseungguhnya mereka (pemuda itu) beriman kepada Tuhannya dan Kami tambahkan kepada mereka petunjuk. Dan kami teguhkan hati mereka...

Beriman kepada Allah meniscayakan tumbuh-kembangnya keyakinan bahwa kesatuan Tuhan juga berarti kesatuan manusia. Sehingga keimanan pada esa-nya Allah, menjadi dasar kecintaan pada kemanusiaan. Kebenaran tidak dibuktikan dengan membenci dan menafikan, melainkan memuliakan manusia dan meninggikan nilai-nilai luhur kemanusiaan yang adil dan beradab.

Keyakinan pemuda yang sedemikian ini menjadi wasilah turunnya petunjuk dari Allah. Sebab Allah adalah guru pertama dan utama, “Yang mengajar (manusia) dengan qalam. Dia mengajarkan manusia apa yang tidak diketahuinya.” (Q.S. 96 : 4 - 5). Mereka yang beriman dengan benar, senantiasa berlandaskan pada iqra bi ism rabbik, membaca dengan nama Tuhan. Bukan karena doktrin sesat dan menyesatkan.

Untuk menanamkan pemahaman yang baik dan benar pada remaja Islam dan pemuda muslim agar mereka sekualitas pemuda kahfi, maka peran organisasi kepemudaan Islam perlu dioptimalkan. Dalam organisasi itulah mereka digembleng dengan pemahaman keagamaan yang mengedepankan kemanusiaan, menghargai keragaman dan tidak menafikan nilai-nilai kebangsaan.

Meminjam penjelasan guru bangsa, HOS Tjokroaminoto dalam tulisan monumentalnya, Moeslim Nationaal Onderwijs, menjelaskan bahwa pendidikan selayaknya mengantarkan manusia pada kemerdekaan, menanam keberanian yang luhur, benih peri kebatinan yang halus, benih kehidupan yang shaleh, dan rasa kecintaan terhadap tanah tumpah darah. Organisasi kepemudaan Islam bisa menjadi katalisator bagi proses pembinaan pemuda terkait hal ini.

Selain melakukan pembinaan pemuda melalui pendidikan dan pelatihan, organisasi kepemudaan juga menjalankan fungsi sebagai peer groupkelompok teman sebaya. Sebab, pemuda lebih mudah terpengaruh oleh lingkaran kecil pergaulannya dibanding yang lain. Maka dalam sebuah peer group yang diinisiasi oleh organisasi kepemudaan, mereka bisa menemukan role model praktik keagamaan yang santun, dinamis, menghargai pluralitas, dan mencitai kemanusiaan serta tanah airnya.

Terakhir, penting untuk digarisbawahi tentang fungsi media dalam menyajikan informasi terkait ajaran agama yang tidak radikal. Olehnya itu, kehadiran media –cetak maupun elektronik, yang konsern pada isu ini dengan konsep dan tampilan yang bisa diterima oleh generasi muda, tentu akan berimplikasi positif bagi proses de-radikalisasi pemahaman keagamaan. Sehingga pemuda bisa memahami prinsip-prinsip dasar dan kebenaran fundamen agamanya secara tepat.

*Tulisan ini dimuat di Harian Amanah, edisi Senin (02/11/015)


Muhammad Kasman | twitter: @KasmanMcTutu | surel: kasmanku@gmail.com | weblog: http://kasmanpost.blogspot.com | telp./sms/wa/line: 082293716538 | pin bbm: 321ced75


Share this post :

Posting Komentar

 
Support : TurungkaNews | PB PemudaMuslim | KasmanPost
Copyright © 2015. Pemuda Muslimin Indonesia Sulsel - All Rights Reserved
Template by Cara Gampang Published by Cargam Template
Proudly powered by Blogger