[20.0.2016] Mungkin anda pernah mendengar, seorang pemuda
harus berurusan dengan polisi karena terlibat perkelahian dengan alasan harga
diri. Dia tersinggung dan merasa mau dikatai bujang lapuk, sebab sampai malam valentine day, dia belum punya pacar
untuk diajak berkencan atau dibelikan coklat.
Bahkan, yang tak kalah memiriskan adalah tingkah seorang
pemuda yang mencacah tubuhnya dengan benda tajam, hanya karena pernyataan
cintanya ditolak oleh seorang perempuan. Sekali lagi, tindakannya dipicu oleh
rasa malu yang tak tertahankan.
Apakah sedemikian sempit pemahaman akan rasa malu dari
generasi muda kita? Hanya seputar percintaan ala roman picisan? Yang lebih
parah lagi, karena model malu sedemikian dikait-hubungkan dengan konsep siri' dalam tradisi Bugis-Makassar.
Padahal, konsep siri' tidaklah
sedangkal dan sesempit itu.
Dalam sebuah kesempatan, Rasulullah Muhammad saw pernah
bersabda tentang rasa malu, “Malulah kepada Allah dengan sebenar-benarnya rasa
malu”, demikian beliau berkata. Mendengar nasihat nabi tersebut, para sahabat
berlomba untuk bertanya lebih jauh, “Apakah sebenar-benarnya rasa malu itu?”
Rasulullah saw menjawab pertanyaan sahabat dengan sebuah
tips singkat namun mengena, bahwa rasa malu yang tepat adalah rasa malu kepada
Allah, dan rasa malu yang benar, berarti, “Menjaga kepala beserta isinya dan
menjaga perut beserta isinya, serta mengingat kuburan dan kematian.”
Apa yang dipesankan oleh Rasulullah, kemudian
diimplementasikan dengan baik oleh Tjokroaminoto kepada anak-anaknya, -baik anak biologis, maupun anak ideologisnya.
Nasihat tokoh Syarikat Islam yang bergelar Jang Oetama ini kepada anak-anaknya,
sejalan dengan pesan rasulullah.
Pertama, terkait dengan
ikhtiar menjaga kepala beserta isinya, Tjokroaminoto menasehatkan agar
anak-anaknya, generasi penerus perjuangan, dan para pemuda, menggunakan lima
menit setiap malam buat membulatkan pikiran! Obyek membulatkan pikiran adalah
ayat (tanda dari Allah) berupa penciptaan langit dan bumi, serta pergantian
malam dan siang. Mereka yang mampu membulatkan pikiran ini, digelari oleh Allah
sebagai ulul albab. (Q.S. 3:190)
“....(Yaitu)
orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri, duduk atau dalam keadaan
berbaring, dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya
berkata), “Ya Tuhan kami, tidaklah Engkau menciptakan semua ini sia-sia; Maha
Suci Engkau, lindungilah kami dari azab neraka” (Q.S. 3:191).
Kedua, perihal menjaga perut
beserta isinya, Tjokro mewanti-wanti, berhentilah makan sebelum kenyang! Ini
bermakna kewaspadaan, bahwa makanan tak hanya diukur dari kehalalannya,
melainkan pun dinilai melalui ke-thoyyib-annya
(Q.S. 2:168). Mengonsumsi makanan halal secara berlebih, bisa mengubah status
makanan tersebut menjadi tidak thoyyib.
Tentang ke-thoyyib-an
makanan, Ibn Katsir menyebut sebagai sesuatu yang tidak membahayakan tubuh dan
akal pikiran. Imam Syafi’i menambahkan bahwa thoyyib sebagai sesuatu yang
lezat. Sementara Imam Malik dan At Thabari mendefenisikan sebagai sesuatu yang
suci, tidak najis, dan tidak diharamkan.
Ketiga, perkara mengingat kuburan dan kematian, dengan
diplomatis, Tjokro melontar tanya, bagaimana caranya, supaya bisa bersih
sebelum wudhu? Bagaimana kebersihan bisa berkait dengan ingatan pada kematian?
Sebab salah satu kategori kemanusiaan yang amat dicintai Allah adalah menjaga
kebersihan dirinya, baik lahir maupun batin (Q.S. 2:222). Kebersihan adalah
indikator keimanan dan ketakwaan.
Bagi mereka yang bertakwa dengan sebenar-benarnya takwa,
Allah menasehati agar senantiasa mawas diri, berjaga, dan waspada.
Senantiasalah menimbang-nimbang, menghitung-hitung, menjaga kesucian diri, sebagai
persiapan menyambut mati (Q.S. 59:18). Mereka inilah golongan yang oleh kaum
arif dalam agama, sebagai insan yang mampu mati sebelum mati.
Mereka yang mengamalkan malu kepada Allah dengan
sebenar-benarnya malu, akan menjadi orang-orang yang menjalani hidupnya dengan
kehidupan yang baik, hayatun thayyibah
(Q.S. 16:97). Berangkat dari rasa malu yang benar, jalani hidup dengan thayyibah, menuju baldatun thayyibah, negeri yang baik (Q.S. 34:15).
Untuk mewujudkan baldah
thayyibah wa rabbun ghofur, negeri yang nyaman dan tenteram, serta
senantiasa mendapatkan ampunan Allah, maka kuatkan rasa malu, terutama di
kalangan pemuda. Contohlah rasa malu yang dinasehatkan oleh rasulullah saw. dan
dipraktikkan oleh pribadi-pribadi terbaik dari umat ini. Bukan rasa malu yang
picik dan sempit dan malah menjauhkan diri dari rahmat Allah.
Tulisan ini dimuat di Harian Amanah, sabtu, 20 Februari
2016
Posting Komentar