[23.05.2016]
Beberapa waktu terakhir, ruang publik kita diriuhkan oleh kekhawatiran akan
kebangkitan hantu komunisme. Ajaran
politik yang terkenal dengan seruan keras, “Kau Pekerja di Seluruh Dunia,
Bersatulah!”. Seruan ini menjadi kalimat penutup pada sebuah pamflet singkat –hanya sekir 12.000 kata, dengan judul The Communist Manifesto (1848) yang
ditulis oleh nabi kaum Komunis, Karl Marx.
Tak
bisa dimungkiri, ide komunisme Marx merupakan sebentuk antitesis bagi
kebangkitan wajah baru perekonomian dunia pasca revolusi industri, kapitalisme.
Saat itu, tersebab injeksi teknologi dalam industri, telah mendongkrak
produktivitas ekonomi dengan keuntungan berlipat-lipat. Tapi celakanya,
keuntungan itu, hanya dinikmati oleh segelintir elit pemilik modal, kaum
kapitalis.
Marx
sendiri tidak pernah berhasil mengejawantahkan ide-ide perubahan revolusioner
yang dikemukakannya dalam Manifesto. Namun sepeninggalnya, sejarah mencatat
bagaimana gagasan-gagasannya coba diwujudkan oleh para pengagumnya dalam serentetan
rezim politik berhaluan komunis. Rezim-rezim itu menjadi ujian bagi kebenaran
historis doktrin komunisme Marx dalam mengimbangi laju kapitalisme.
Sejarah
lalu menunjukkan kepada kita, bagaimana rezim-rezim itu, satu persatu rontok
dan mengalami kebangkrutan. Sebut misalnya kaum Komunis Soviet Rusia yang
dikomandoi Stalin, maupun Komunis Cina yang dipimpin Mao. Gagasan revolusioner
Marx untuk mewujudkan masyarakat komunis –masyarakat
tanpa kelas, seperti kehilangan momentum di era kontemporer.
Pada
tahun 1982, Ronald Reagan –mantan Presiden
AS, pernah meramalkanbahwa komunisme akan menjadi tak lebih dari ‘tumpukan
debu sejarah’, dan keruntuhan Soviet, lalu disusul restorasi komunis Cina
menjadi bukti atas pernyataan itu. Namun kini, ketika kekuatan kapitalisme
global lagi-lagi menunjukkan gejala ketimpangan yang maha besar dan akut, hantu
itu bangkit dari kubur, anasir komunis kembali membayangi.
Munculnya
kembali riak dari mereka yang didaku sebagai komunis, atau sisa-sisa Partai
Komunis Indonesia di negara ini, seharusnya dilihat dalam konteks ini.
Komunisme –dalam ide dan gerakan,
selalu dan senantiasa menjadi antitesis dari kapitalisme. Di mana kaum
kapitalis mencengkeram perekonomian, memapankan ketimpangan, dan menghisap
kelas pekerja, maka di situlah kaum komunis berkecambah.
Komunisme
dan kapitalisme adalah satu hantu –yang
sama kejam dan liciknya, namun dengan dua wajah. Seperti kata Wiston
Churchill (1954), “Sifat buruk yang inheren dari kapitalisme adalah pembagian
rezeki yang tidak seimbang; kebajikan yang inhern dari sosialisme ialah
pembagian kesengsaraan yang seimbang.” Kapitalisme menyebabkan ketimpangan
akut, sementara Sosialisme –termasuk
komunisme, mendistribusikan kesengsaraan dengan adil.
Bagi
kita bangsa Indonesia, bahaya kapitalisme telah jauh hari diingatkan oleh salah
seorang guru bangsa kita, Tjokroaminoto. Tjokroaminoto (1932) menulis,
“Kejahatannya kapitalisme yang merajalela dengan sepenuh-penuh tenaga dan
kekuatannya di Negeri tumpah-darah kita, ternyatalah telah menjadikan sebab
bangsa kita hilang kemerdekaannya, jatuh di dalam kenistaan perhambaan –kebangsaan dan kenistaan perhambaan-pencarian.”
Perhambaan-kebangsaan
yang dimaksud oleh Tjokroaminoto adalah dikuasai dan dikendalikannya
perpolitikan bangsa Indonesia oleh segelintir orang pemilik modal (kaum
kapitalis), sementara perhambaan-pencarian bermakna keterjajahan perekonomian
kita dengan sistem kapitalisme yang licik. Ini berarti bahwa kemerdekaan
politik dan kemandirian ekonomi hanya bisa diraih dengan mengenyahkan kapitalisme.
Tjokroaminoto
pula mengutip ayat al-Quran, “Celakalah bagi tiap-tiap pengeji-pengumpat, yang
menumpuk-numpuk kekayaan dan menjadikan harta itu persediaan (untuk menolak kecelakaan) [104:1-2].”
Dengan berlandaskan ayat ini, Tjokroaminoto meyakini betapa kapitalisme lebih
berbahaya dari sosialisme –termasuk
komunisme. Mengapa demikian? Sebab ketimpangan dan ketidakadilan yang
ditimbulkan oleh kapitalisme-lah, penyebab komunisme muncul.
Alasan
mengapa kewaspadaan terhadap kapitalisme perlu dilakukan, bukan semata karena
kapitalisme-lah yang memicu komunisme, namun karena kapitalisme menghancurkan
pranata sosial politik dan sosial ekonomi dengan cara-cara yang tidak
disangka-sangka. Bila Karl Marx dalam Manifesto terang-terangan berteriak
lantang, “Teori kaum Komunis dapat diringkas dalam satu kalimat: Penghapusan
hak milik pribadi.”, maka kapitalisme bergerak dalam geliat yang senyap.
Bertrand
Russell menangkap geliat kapitalisme yang memanfaatkan hak asasi berupa
kekebasan demi memuluskan hasrat mereka menumpuk-numpuk harta. Russell (1928)
mengungkap, “Para pendukng kapitalisme sangat mudah menarik prinsip-prinsip
suci kebebasan, yang terwujud dalam satu maksim: Mereka yang beruntung tidak
boleh dikendalikan dalam melaksanakan kezaliman terhadap mereka yang tidak
beruntung.”
Maka
alangkah bijaknya bila gerakan untuk mencegah bangkitnya kembali komunisme tak
hanya bekerja pada tataran permukaan, namun mampu menjangkau sampai ke
akar-akarnya, menusuk jauh pada alasan, mengapa debu komunisme yang mengendap
di kedalaman sejarah sosial politik dan ekonomi kita, kembali muncul dan
menyeruak ke permukaan, menginterupsi kemapanan dan menghantui ‘kedamaian’.
Sejatinya,
penolakan terhadap komunisme dan gerakan menghancurkannya harus dibarengi
dengan penolakan dan penghancuran terhadap kapitalisme sebagai biangnya. Bila
ketimpangan ekonomi, serta penindasan dan penghisapan ala kapitalisme bisa
dilenyapkan –ini merupakan amanat sila
kelima Pancasila untuk mewujudkan kesejahteraan sosial, maka komunisme
tentu akan ikut layu dan mengering, sebab mereka tak lagi punya alasan untuk
mengejawantah.
Posting Komentar