Para
Penebar Aib
Oleh: MuhammaD Asrul al Fatih*
Jorge Luis Borges, seorang ikon
sastra dunia kelahiran Buenos Aires, pernah menulis esai yang mungkin akan
membuat merah muka kita yang terbiasa dengan kisah-kisah surga yang indah.
Mungkin pula kikuk, bagi mereka yang memang kepalang tanggung tergiur indah
surga, hasil tebar para punggawa mimbar-mimbar.
Membaca Jorge Luis Borges adalah
bermain dengan fragmen kehidupan. Ia jenaka, usil, dan mungkin parodi.
Demikianlah yang ia dedahkan dalam salah satu esainya. Dengan obsesi dan
keyakinannya akan keimanan yang ia pegang, membuat ia lupa bahwa dirinya telah
mati dan mendapat ganjaran hidup di luar surga. Demikianlah kisah Melancthon
dalam esai Borges; Matinya Seorang Teolog.
Menyelewengkah Borges, mungkin iya. Para pemuka institusi boleh mengutuknya. Tetapi Borges tetaplah si penyedia hiburan kelas wahid. Ia berbicara tentang kejujuran, melabrak dan membongkar selubung iman yang dalam kesaksiaannya telah menjadi kebiasaan remeh-temeh yang menebar wajah penuh kepalsuan.
Melancthon, seorang teolog yang hingga di kediamannya yang baru, tetap duduk di mejanya untuk memulai karangannya, dan terus menulis seperti kebiasaan sehari-harinya, tentang pengampunan dosa melalui iman semata-mata tanpa sepatah pun kata tentang amal;
Aku telah membuktikan tanpa dapat disangkal lagi, … ‘’bahwa amal tak mengandung apa pun yang hakiki bagi jiwa. Untuk meraih penebusan, iman saja sudah cukup”.
Dia berbicara dengan penuh keyakinan, tanpa syak sedikit pun bahwa dia sudah mati dan jatahnya ada di luar surga. Melancthon nampaknya melihat iman dan amal bagai dua tiang yang dipisahkan terjalnya jurang. Sebab iman dan amal tak dapat disandingkan, maka bagi Melancthon, imanlah yang lebih perlu. Lebih tinggi.
Melancthon sangat boleh ada di sekitar kita, jika bukan kitalah Melancthon itu. Menghambur kerusuhan demi mengejar iman dan pembelaan atas nama Tuhan yang kita imankan. Melancthon adalah aib bagi penjaga gerbang kukuh agama. Ia bersikukuh dengan imannya, tapi tempatnya ada di luar surga. Sebuah gubuk.
Dalam kisah Melancthon, ia menerima banyak kunjungan dari orang-orang yang baru mati, namun dia malu, sebab mulai merasa kedapatan tinggal di pondokan yang begitu buruk. Melancthon terusik, tentu. Sebab seorang tokoh publik mesti tampil selayaknya. Seorang punggawa iman sudah sepatutnya hidup di surga.
Keangkuhan iman menghadirkan aib berkepanjangan. Nestapa Melancthon. Iman memang terkadang menjadi nestapa bagi manusia. Kerusuhan dilancarkan hanya karena berbeda nama iman, berbeda pilihan politik. Sederat cara hidup zaman kita, cukup membuat malu telah menjadi jualan yang paling laku terjual. Tindak kezaliman dan sikap tanpa rasa malu menjadi pemasok aib untuk tampil dalam layar keseharian.
Kuasa media menjadi penebar yang efektif. Media menjadi lapangan yang membuat sekian dari kita berderet memperlihatkan aib. Anehnya, aib menjadi pertunjukan yang penuh ide cerita, pun tak pernah kehabisan aktor dan penonton.
Bagi Melancthon, sang teolog, kedirian iman haruslah tampil lebih dari apa pun yang dapat nampak. Apa pun jalannya. Demi tetap tinggal seolah di dalam surga, maka jalan sihir tentulah dapat untuk dimungkinkan. Urusan jasa sihir adalah usaha menutup aib. Jika aib telah terbongkar, memang terkadang banyak cara jadi sumringah untuk dijalankan. Dari pura-pura sakit, bagi-bagi amplop, hingga tunjuk-menunjuk menjadi pemandangan menggelikan yang dipraktikkan oleh para penebar aib.
Sambil menelisik aib kita masing-masing, ada kabar terakhir Melancthon yang disampaikan Borges. Katanya “Tukang sihir telah melarikannya ke perbukitan pasir, di mana kini dia telah menjadi semacam hamba setan”.
Muhammad Asrul al Fatih, Ketua Bidang Intelektual dan Seni Budaya PW Pemuda Muslimin Indonesia
Prov. Sulsel 2014 - 2018.
Posting Komentar