[04.06.2016] Beberapa
waktu belakangan, kebencian terhadap hal-hal yang berbau Komunis, begitu
menggelegar. Bahkan, seakan genderang perang ditabuh gemuruh, pemikiran
diberangus, bahan bacaan dirampas, buku pun hangus. Kebencian ini merembet
sampai pada sikap tak ada ampun bagi penganut Komunisme, Sosialisme, Marxisme,
bahkan Karl Marx sendiri.
Lebih miris lagi, kebencian itu juga
disulut dan dikobarkan oleh sebagian umat Islam. Bahkan, cap kafir dan anti
Tuhan, tak segan terhambur dan menyembur dari mulut para pengkhotbah yang tanpa
tedeng aling-aling menyitir berbaris-baris ayat dan bershaf-shaf hadis. Semua
peluru dilesakkan untuk menewaskan semua yang berwarna ‘merah’ dalam sekali tembak.
Benarkah umat Islam satu warna dan
sepemikiran bahwa Komunis itu kafir, Sosialis itu sesat, atau Karl Marx itu menyesatkan? Tentu saja tidak, sebab Islam
adalah sebuah agama yang indah karena mozaik pemikiran dan meriah karena
keragaman mazhab. Ada sebagian umat Islam yang berpandangan bahwa Marx tidaklah
semenyesatkan yang dikhawatirkan, dan Sosialisme tidaklah sesesat yang dibayangkan.
Salah seorang tokoh umat Islam yang
berpandangan demikian, adalah H.O.S. Tjokroaminoto. Sosok aktivis pergerakan
Islam Indonesia yang didaku menjadi guru para pendiri bangsa ini, tak segan mengklaim bahwa hanya Islam-lah yang
pantas mengklaim sebagai ajaran Sosialisme yang sejati, bukan yang lain.
“Bagi kita orang
Islam, tidak ada Sosialisme atau rupa-rupa isme yang lain-lainnya yang lebih
baik, lebih elok, dan lebih mulia, selain sosialisme yang berdasarkan Islam.” Demikian tulis Tjokroaminoto dalam buku fenomenalnya,
Islam dan Sosialisme yang terbit pertamakali pada tahun 1924.
Amelz dalam H.O.S. Tjokroaminoto: Hidup
dan Perjuangannya (1952) mengutip pernyataan Tjokroaminoto soal sosialisme, “Sosialisme menghendaki cara hidup satu untuk semua dan
semua untuk satu, yaitu cara hidup yang hendak memertunjukkan kepada kita bahwa
kita adalah yang memikil tanggungjawab atas perbuatan kita satu sama lain.”
Perihal Islam,
Tjokroaminoto (dalam Amelz) juga mengemukakan, “Adapun yang menjadi dasar pengertian sosialismenya Nabi
Muhammad, yaitu kemajuan perikeutamaan dan kemajuan budi pekerti rakyat. Umat
Islam adalah orang yang cakap sekali dalam melakukan kehendak Sosialisme yang
sejati itu.”
Pernyataan Tjokroaminoto soal Sosialisme
bukanlah pernyataan serampangan dari seseorang yang mudah memberi dukungan
karena ketidaktahuan atau kekurangpahaman akan sebuah persoalan. Simpati,
bahkan kesepakatan Tjokroaminoto akan ide-ide Sosialisme, tumbuh dan mekar
karena keberaniannya untuk mengkaji pemikiran Karl Marx dan Engels, serta
ketekunan mengaji firman Allah dalam al-Quran.
Tak tanggung-tanggung, ulama dan mantan
Ketua MUI sekaliber Hamka –salah
seorang murid Tjokroaminoto, juga mempelajari
sosialisme melalui kursus kader Sarekat Islam –organisasi yang
pernah dipimpin Tjokroaminoto.
Dalam kursus yang diikuti
Hamka, selain Tjokroaminoto yang mengampu 'Islam dan Sosialisme',
juga ada materi ‘Ilmu Sosiologi’ yang diampu Soerjopranoto, serta ‘Dasar-Dasar Pokok Hukum Islam’ dari H. Fachruddin, yang juga tokoh Muhammadiyah.
Mengenai kursus itu, Hamka –dalam Amelz, berkomentar jernih dan tanpa tendensi negatif, “Ketiga guru saya adalah orang-orang pergerakan yang telah
memandang Islam dengan cara baru. Waktu itulah saya mulai mengenal Komunisme, Sosialisme,
Nihilisme. Waktu itulah saya mulai mendengar nama Marx, Engels, Prudhon
Bakounin, dan lain-lain.”
Malah sebaliknya, mengenai kebiasaan
para pengajar di kursus kader organisasi Islam –pelopor pergerakan
kebangsaan, nasionalisme dan kemerdekaan Indonesia– itu, Hamka mengakui dengan jujur, “Bilamana tiba giliran beliau Tjokroaminoto, mulailah
majelis tenang dan diam, dan mulailah timbul kegembiraan di wajah-wajah para
kursusiten.”
Tjokroaminoto, pria yang pertamakali
mengumandangkan Zelfbestuur dan
memekikkan keinginan bangsanya berpemerintahan sendiri, dia yang tak diragukan
pemahaman keIslamannya, memperlakukan pemikiran Marx dan Engels sebagai
pengetahuan berharga. Bahkan Tjokroaminoto berusaha menemukan pertalian Islam
dan Sosialisme, lalu menggunakan keduanya untuk membangkitkan persatuan
nasional.
Jadi bila
tiba-tiba kita dihadapkan pada serentetan sumpah-serapah dan caci-makian pada
mereka yang didaku komunis dari mereka yang mengaku aktivis
gerakan Islam. Lalu kita dibuat terperangah oleh penyitaan dan
pembakaran buku yang dilakukan dengan alasan nasionalisme. Maka kita perlu
bertanya dengan serius, seberapa dalam kita mengkaji masalalu republik ini, dan
seberapa baik kita memahami sejarah perjuangan para pendahulu.
Mari bercermin pada Tjokroaminoto, yang menurut Hamka, alih-alih
mengutuk, malah berterimakasih pada Marx dan Engels. “Beliau dalam kursusnya tidak mencela Marx dan Engels,
bahkan berterimakasih kepada keduanya sebab teori Histori Materialisme Marx dan
Engels telah menambah jelasnya bagaimana kesatuan sosialisme yang dibawa Nabi
Muhammad. Sehingga kita sebagai orang Islam merasa beruntung, sebab tidak perlu
mengambil teori yang lain lagi.”
Kita pun perlu meneladani Hamka, yang mengetahui bahwa
Tjokroaminoto mengagumi Marx dan Engels, namun dia masih menempatkan
Tjokroaminoto sebagai salah satu orang yang sangat berpengaruh dalam hidupnya.
“HOS Tjokroaminoto telah membuka mata saya untuk Islam yang hidup… Mata saya
dibukakan Pak Tjokro! Saya merasa bahwa HOS Tjokroaminoto telah turut membikin
saya.”
Bagaimana dengan kita?
Tulisan ini juga dimuat di EduNews
Posting Komentar