[03.07.2016] Beberapa hari lalu, kita mengenang sebuah peristiwa
bersejarah 100 tahun lewat. Kisah yang menempatkan Tjokroaminoto sebagai tokoh
utamanya. Bandung, 17 Juni 1916, di depan peserta National Congress Centraal
Sarekat Islam (Natico CSI) I, Tjokroaminoto berteriak lantang, “Zelfbestuur harus ada di Hindia!”
Zelfbestuur (pemerintahan
sendiri) yang diidamkan Hoofdbestuur
Sarekat Islam (SI) itu adalah pemerintahan yang berbasis Islam, namun tetap mengutamakan
persatuan. “Seluruh lapisan masyarakat akan menuju ke arah dan bersama-sama
memelihara kepentingan kita bersama, dengan tidak pandang bulu, bahasa, bangsa
maupun agama.” Demikian pidatonya hari itu.
Tjokroaminoto, di tengah warga bangsa yang masih terlelap,
dengan berani mengemukakan gagasan revolusioner berbasis ajaran Islam. Gagasan itu
menurut Kapitsa & Maletin (2009 : 21), “...untuk membentuk masyarakat tanpa
penghisapan oleh pihak asing, tanpa pajak ataupun kewajiban-kewajiban kerja
paksa.”
Bahkan ketika keretakan dalam SI pada tahun 1921 dan SI Merah
menjadi Partai Komunis Hindia, Tjokroaminoto tetap berupaya menjaga agar SI
Putih tak kehilangan gagasan revolusionernya, dia menerbitkan Islam dan
Sosialisme sebagai ideologi gerakannya pada tahun 1924.
Islam diinterpretasi sebagai sebentuk argumen kukuh untuk
menelanjangi segala ketimpangan sosial yang diakibatkan oleh sistem politik
kolonial. Islam tak hanya menjadi pedoman ritual, melainkan ditransformasi
menjadi spirit pembangkangan dan inspirasi perlawanan mewujudkan kesetaraan dan
kesejahteraan bersama.
Menariknya –menurut Nasihin
(2012 : 149), meskipun menggunakan model pergerakan Sosialisme, namun
sebagai sebagai organ bumiputera yang mengusung dasar kebangsaan di bawah
panji-panji Islam, SI merumuskan sosialismenya dari ajaran Islam, bukan
berbasis Marxisme.
Bagi Tjokroaminoto, perjuangan nilai-nilai kemanusiaan untuk
keberlangsungan hidup sebagai sesama mahluk sosial di dunia, merupakan muara
yang mempertemukan Islam dan sosialisme. Tersebab itulah, sosialisme bukan hal
yang harus disingkirkan, sepanjang sosialisme itu berbasis pada Islam, agama
anutan mayoritas bumiputera.
Menurut Kapitsa & Maletin (2009 : 21), Tjokroaminoto
memahami betul bahwa bagi bangsa Indonesia, Islam merupakan suatu identitas
nasional yang tidak bisa direbut oleh Belanda, Islam menjadi simbol kemerdekaan
dan identitas pemersatu bagi rakyat yang 90% adalah Islam. Maka pilihan pada
sosialisme Islam adalah strategi yang tepat.
Untuk mewujudkan gagasan islam revolusionernya, selain
memperkenalkan konsepsi Sosialisme Islam, Tjokroaminoto juga mendorong SI
menjadi organisasi yang lebih progresif. Seperti diungkap dengan gamblang oleh
Nasihin (2012), SI yang awalnya dibentuk oleh para pedagang, menjadi organisasi
kaum kromo: petani, dan terutama buruh.
Propagandis SI –seperti
Abdoel Moeis dan Suryopranoto, menjadi penggerak utama pemogokan buruh dan
pemberontakan kaum tani di berbagai tempat. Bahkan tak urung, Tjokroaminoto
harus mendekam di penjara kolonial pada tahun 1921 dengan tuduhan menghasut
pemberontakan kaum tani di Banten dan Tolitoli.
Sebagai organisasi sosialis yang islami, progresivitas gerakan
SI tetap dipandu oleh ahlak islami. Tjokroaminoto –dalam Amelz (1952:126)– menegaskan, “Sarekat Islam tidak memusuhi
manusia yang manapun juga, tetapi yang harus dibongkar ke akar-akarnya ialah
paham imprealisme dan kapitalisme.”
Hari ini, di saat imprealisme hadir dengan wajah baru, dan
kapitalisme menyapa melalui muka ramah dan murah senyum, umat Islam Indonesia
yang masih menjadi bagian terbesar bangsa ini, seakan tak bisa berbuat banyak,
tetap saja menjadi korban dan tak berdaya.
Bahkan, ketiadaan gagasan Islam revolusioner serupa sosialisme
Islam-nya Tjokroaminoto, serta alpanya organisasi Islam progresif semacam
Sarekat Islam, membuat generasi muda umat islam dengan mudah terjerat pada wacana
islam konservatif dan terseret dalam arus gerakan radikal.
Maka, momentum peringatan 100 tahun zelfbestuur Tjokroaminoto, bisa menjadi medium refleksi untuk
menemukan jawaban atas realitas gerakan Islam Indonesia kontemporer. Akankah
gerakan Islam yang ada tetap jalan sendiri-sendiri, sibuk saling menyalahkan,
atau mulai memikirkan upaya membangun gerakan Islam yang lebih progresif
revolusioner.
Saatnya merumuskan model gerakan Islam Indonesia masa depan,
dengan sesekali menengok ke belakang, mengambil pelajaran dari apa yang telah
dirintis oleh Tjokroaminoto. Sebagaimana Soekarno, sang proklamator hebat itu
dengan jujur mengakui, “Cerminku adalah Tjokroaminoto!”
Tulisan ini dimuat di EDUNEWS.ID, 02 Juli 2016
Posting Komentar