Zelfbestuur dan Tanggungjawab
Menunaikannya
Oleh:
Isbawahyudin*
Proklamasi
kemerdekaan yang tiap tahun kita peringati pada 17 Agustus 1945 sejatinya tidak
berasal dari sebuah ruang kosong yang datang begitu saja, melainkan sebuah
perjalanan panjang yang berliku lagi terjal.
Bangsa
ini selama tiga seperdua abad dalam cengkeraman penjajah, rakyat hidup seperti
kata Tjokroaminoto, bagai sapi perahan yang diberi makan hanya untuk susunya.
Sekian
lama bumiputera berjuang membebaskan diri namun tetap saja tidak berhasil,
salah satu sebabnya karena kita berjuang sendiri-sendiri: Aceh hanya untuk
Aceh, Ambon hanya untuk Ambon, Bugis hanya untuk Bugis, Jawa hanya untuk Jawa.
Kita
berjuang bukan untuk sebuah bangsa, bukan untuk natie, tapi sekedar kesadaran
primordial yang sempit dalam melakukan aksi reaktif yang tak terencana dengan
baik. Kesadaran akan keislamanlah yang pada awalnya membangkitkan spirit
kebangsaan.
Kondisi
yang tidak menguntungkan bagi pribumi yang mayoritas muslim dalam sistem
perdagangan yang diskriminatif dari penjajah dan pedagang Cina membuat resah
seorang tokoh bernama Hadji Samanhoedi.
Sebagai
jawaban atas keresahannya tersebut, Ia mendirikan persyarikatan sesama pedagang
muslim: Sarekat Dagang Islam (SDI) tahun 1905. Tujuannya jelas, untuk memajukan
perdagangan boemipoetra. Hal ini juga dipengaruhi oleh paham Pan Islamisme yang
menjalari dunia islam kala itu.
Saat
pucuk pimpinan SDI beralih ke H.O.S Tjokroaminoto, Sarekat Dagang Islam (SDI)
berubah nama menjadi Sarekat Islam (SI). Hal itu dilatari kesadaran bahwa
perlakuan diskriminatif dari penjajah tidak hanya menimpa kaum pedagang sahaja
melainkan hampir seluruh lampisan masyarakat, seperti petani, nelayan, buruh,
pangreh praja dan lainnya.
Sementara
itu, bagi Tjokroaminoto, Islam adalah rahmatan lilalamin, Islam tidaklah
memandang perbedaan antara satu golongan dengan golongan yang lain. Islam tidak
mengenal sebuah bangsa superior atau inferior. Semuanya diukur seberapa taat
kita sebagai manusia kepada Tuhan semata. Seberapa banyak kita memberi manfaat bagi
manusia yang lainnya.
Tujuan
SI pun berkembang dari sekedar memajukan perdagangan bertambah menjadi:
1.
Memberikan
pertolongan kepada anggota-anggota yang mengalami kesukaran (pembentukan
semacam koperasi);
2.
Memajukan
kepentingan rohani dan jasmani dari penduduk asli;
3.
Memajukan
kehidupan agama Islam
Tjokroaminoto
menjadikan Islam sebagai gerakan politik pengobar semangat kebangsaan
bumiputera dalam menuntut kemerdekaan. sebagaimana beberapa bait pidatonya.
Wij
hebben ons ras lief en met de kracht van de leer van onzen godsdienst (Islam)
doen wij ons best om allen of het grootste gedeelte van onze bangsa een te
maken. (Kita mencintai bangsa kita, dan dengan ajaran agama kita (Islam), kita
berusaha sepenuhnya untuk mempersatukan seluruh atau sebagian terbesar bangsa
kita).”
17
Juni 1916 pada hari kedua kongres Central Sarekat Islam (CSI) di Bandung,
dijadikan Tjokro sebagai momentum untuk menggugah kesdaran kebangsaan
bumiputera untuk bangkit dan melawan demi memperoleh pemerintahan sendiri (zelfbestuur).
“Sekarang
jalan telah terbuka untuk mencapai tujuan itu, yakni memperoleh zelfbestuur
(pemerintahan sendiri), biarpun hanya untuk daerah-daerah atau bagian-bagian.
Kita harus mencoba untuk membuka semua lubang, semua jalan yang dapat kita
gunakan untuk mencapai tujuan kita. Akan tetapi dengan jalan yang baik, dan
jika jalan dan lain-lain itu terlalu sempit atau kecil maka kita harus berusaha
memperbesarnya, agar kita dapat menembusnya”.
Pada
penghujung pidatonya, pemimpin kharismatik itu mengungkapkan, “Hak-hak dan
kebebasan politik baru diberikan kepada rakyat kalau rakyat itu meminta sendiri
dengan memaksa. Jarang sekali terjadi hak kebebasan itu diberikan sebagai
hadiah oleh sesuatu pemerintah. Di bawah pemerintah yang tiranik dan zalim,
hak-hak dan kebebasan itu dicapai dengan revolusi”.
Hasil
baiknya diperoleh pada 17 agustus 1945, saat murid sekaligus menantunya, Ir.
Soekarno memproklamirkan kemerdekaan Indonesia. Sebuah bangsa yang ia
damba-dambaka, akhirnya lahir.
Tanggungjawab Kita
Sejatinya
harapan Tjokroaminoto perihal cita-cita zelfbestuur telah dikumandangkan sejak
17 Juni 1916 tepat seabad yang lalu. Namun, masih sangat relevan dengan konteks
kekinian.
Hari
ini, secara de facto kita telah berdaulat secara politik, pemerintahan telah
dipegang oleh putra bangsa sendiri, kita telah berdaulat dalam menentukan hukum
dan nasib sendiri, namun apabila kita menggali hakikat zelfbestuur yang
dihendaki Tjokro, tentu kita masih dalam tahap berjuang menggapainya.
Zelfbestuur masih sebatas cita-cita, mewujudkannya adalah tanggung jawab kita
semua sebagai generasi penerus.
Globalisasi
dan Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) yang tengah kita hadapi sekarang merupakan
peluang sekaligus tantangan bagi kita. Kemandirian dan keberanian menentukan
sikap bagi pemerintah adalah kuncinya.
Jangan
sampai bangsa kita didikte oleh pengaruh asing, sumberdaya alam kita jangan
menjadi rebutan bangsa lain, sedang kita nikmat bersimpuh sebagai penonton.
jika kita tidak menyiapkan diri maka republik ini hanya akan menjadi ladang
subur bagi orang asing, menanam, menuai dan membuang sampah sekaligus di sini.
Adapun
spirit zelfbestuur yang perlu kita gali dan dorong dalam konteks Indonesia
kekinian adalah menciptakan iklim pemerintahan
yang islami, mandiri, progresif dengan kebijakan yang berpihak kepada
rakyat kecil serta mewujudkan penghidupan ekonomi sosialistik.
Islam
tidak hanya dipahami sebagai ritus ibadah belaka, islam harus dijadikan sebagai
motor penggerak perubahan, khususnya dalam membentuk sebuah sistem pemerintahan
yang bersih, pemerintahan yang islami bukan berarti pemerintahan itu harus
berbentuk khilafah tetapi spirit keislaman bagi pemangku jabatan yang perlu
ditanamkan agar tercipta sistem pemerintahan yang bersih, jujur, berkeadilan
dan kredibel berdimensi duniawi dan ukhrowi.
Di
samping itu, kebijakan pemerintah harus kita dorong berbasis kerakyatan, dalam
artian kebijakan itu semata-mata untuk kepentingan rakyat.
Tjokro
berpesan, “Kalau kamu mau menjadi pemimpin rakyat yang sungguh-sungguh, lebih
dahulu kamu harus cinta betul-betul kepada rakyat. Korbankanlah jiwa ragamu dan
tenagamu untuk membela kepentingan rakyat, sebab kamu adalah satu bagian
daripadanya.”
Kesejahteraan
rakyat harus menjadi perioritas dan landasan utama bagi pemangku jabatan dalam
membuat kebijakan. Sedapat mungkin menghilangkan sikap serakah dan mementingkan
diri atau kelompok tertentu yang dapat membuat cita-cita suci bangsa ini untuk
mensejahterakan penduduknya tidak tercapai.
Spirit
zelfbestuur juga perlu kita dorong untuk membentuk sistem penghidupan ekonomi
yang sifatnya sosialistik. Ekonomi bergaya kapitalistik yang mengedepankan
kebebasan idividu berdampak pada tumbuhnya perekonomian secara tidak merata, di
satu sisi seseorang yang mengusai bisnis tertentu bisa tak terkendali dalam
meraup keuntungan sebesar-besarnya, sedangkan yang lain harus bekerja dengan
penghasilan minim, hidup miskin serba terbatas.
Ekonomi
sosialistik juga sejalan dengan prinsip-prinsip keislaman. Seperti ayat al
Quran, ”Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba” (QS 2:75) dan
”Wahai orang-orang yang beriman janganlah kamu memakan riba yang
berganda-ganda” (QS 3: 130).
Hal
ini juga memuat nilai-nilai persamaan, persaudaraan dan keadilan. Dalam tataran
praksis misalnya mendorong kembali berdirinya koperasi sebagai pilar ekonomi
bangsa.
Isbawahyudin,
Ketua Umum Dewan Pimpinan Cabang (DPC) Serikat Mahasiswa Muslimin Indonesia
(SEMMI) Kabupaten Takalar Masa Jihad 2015 – 2017
Dimuat
pada kolom TJOKRO CORNER di EDUNEWS.ID, tanggal 09 Juli 2016
+ komentar + 1 komentar
Selamat berkiprah PEJUANG !!!
Posting Komentar