PIMPINAN WILAYAH
PEMUDA MUSLIMIN INDONESIA
PROVINSI SULAWESI SELATAN 2014 - 2018
~Isy Kariman Aumut Syahidan~

Becoming Tjokro

[24.10.2016] Mengapa Tjokro? Mungkin tanya itu menggelayut di bilik penasaran begitu melihat judul tulisan ini. Sebab, begitu banyak tokoh pergerakan kemerdekaan nasional yang menghiasi lembar sejarah negeri ini pada paruh awal abad ke-20. Ada Tirto Adhi Soerjo aktivis Sarekat Dagang Islamijah, Haji Samanhudi penggerak Sarekat Dagang Islam, atau Dr. Soetomo dengan Boedi Oetomo-nya.

Lalu mengapa Tjokro? Apa yang dimiliki oleh pria kelahiran Bakur, sebuah desa sunyi di Madiun, 16 Agustus 1882 silam. Apa karena dia lahir bersamaan ketika tsunami meluluhlantakkan Banten hingga Lampung karena letusan dahsyat Krakatau? Atau karena dia merupakan perpaduan darah trah Susuhunan Pakubuwono II dengan darah ulama K.H. Kasan Besari?

Jawabnya, sebab Tjokro adalah sumber mata air bagi pergerakan kemerdekaan Indonesia modern. Darinya mengalir deras tiga arus besar ideologi yang menjadi fondasi kebangsaan Indonesia Merdeka: Sosialisme, Nasionalisme, dan Islamisme. Tjokro menjadi katalisator kegelisahan anak negeri yang bermuara pada tuntutan berpemerintahan sendiri, zelfbestuur.

Pada masa kepemimpinannya di Sarekat Islam (SI), pergerakan kebangsaan modern pertama yang dimiliki bangsa ini, Tjokro disokong oleh 2,5 juta anggota dari seluruh penjuru nusantara. Melalui SI, Tjokro menabalkan dirinya sebagai Gatotkoco Sarekat Islam yang oleh Belanda digelari Raja Jawa yang Tidak Pernah Dinobatkan.

Dengan telaten, pria yang terlahir dengan nama Oemar Said Tjokroaminoto, merawat benih progresivitas pada pribadi murid-muridnya. Semaun yang mengecap sosialisme (komunisme), Soekarno yang mendalami nasionalisme, dan Kartosoewirdjo yang memilih Islam sebagai basis ideologi gerakannya, senantiasa mendapat tempat di sisi Tjokro.

Tjokro yang dengan bangga melepas status kebangsawanan, serta menghapus gelar raden mas yang bertengger di depan namanya, berseru lantang, “Semua anggota Sarekat Islam itu bersaudara, terlepas dari umur, pangkat, dan statusnya.” Sebab, “Bila tanah air kita kelak menjadi suatu negara dengan pemerintahan sendiri, maka seluruh lapisan masyarakat dan semuanya akan menuju ke arah dan bersama-sama memelihara kepentingan kita bersama, dengan tidak oandang bulu, baik bahasa, bangsa, maupun agama.”

Di tengah perdebatan sengit di kalangan umat, tersebab tafsir atas surah al Maidah ayat 51, maka Tjokro punya tafsirnya sendiri mengenai pemimpin umat. Pesannya, “Terjunlah di kalangan masyarakat, pinpinlah rakyat di desa-desa. Terjunlah jadi dukunnya rakyat kaum tani di desa-desa.” Bagi Tjokro, perihal kepemimpinan bukan perkara kedudukan dan jabatan formal, melainkan bagaimana seaeorang menjadi pihak yang mampu menjawab kebutuhan mendasar dari massa rakyat yang dipimpinnya.

Tjokro tidak mencontohkan tipologi pemimpin umat yang tidak mempolitisasi Islam untuk kepentingan sesaat, melainkan benar-benar menjadikan Islam sebagai jawaban atas problem kebangsaan yang dihadapi. “Kita mencintai bangsa kita dan dengan kekuatan ajaran agama kita (Islam), kita berusaha sepenuhnya untuk mempersatukan seluruh dan sebagian terbesar bangsa kita,” seru pada berbagai kesempatan.

Maka upaya rekonstruksi kepemimpinan ala Tjokro, di tengah merosotnya kepercayaan publik atas kepeminpinan umat, mutlak dilakukan. Selayaknya, pemimpin muda umat ini bisa belajar dari teladan Tjokro dalam memandu dan mendidik para calon pemimpin bangsa pada masanya.

Memamg kita juga menyadari bahwa sebuah kemustahilan melahirkan Tjokro kembali di masa sekarang, pada zaman dan tantangan yang berbeda. Tapi adalah hal yang sangat mungkin dilakukan untuk mereplikasi model kepemimpinan Tjokro pada diri setiap pemimpin umat, terutama pada mereka yang masih muda. Kita tak sedang menunggu datangnya Tjokro sebagai ratu adil, tapi lahirnya Tjokro muda, becoming Tjokro.

Becoming Tjokro bermakna, pemimpin muda umat ini mempersonifikasi diri selayaknya karakter pemimpin umat yang diteladankan dan selalu dipesankan oleh Tjokro. “Kalau kamu mau menjadi pemimpin rakyat yang sungguh-sungguh, lebih dahulu kamu harus cinta betul-betul kepada rakyat. Korbankanlah jiwa ragamu dan tenagamu untuk membela kepentingan rakyat, sebab kamu adalah satu bagian daripadanya.”

Becoming Tjokro tidak akan terwujud bila para pemimpin umat, berlaku lancung dengan menyelewengkan potensi umat menjadi tak lebih dari sekedar angka-angka suara pada dinamika politik elektoral, atau sebagai kerumunan massa besar yang bisa dibelokkan sesuai dengan kepentingan dan hasil negosiasi para makelar massa yang berkedok gelar sebagai pemimpin umat.

Sebab pemimpin ala Tjokro adalah mereka yang memimpin dengan hati yang jujur dan ikhlas. “Percayalah, bahwa Allah tidak akan sia-siakan segala hal usahamu sebagai pemimpin rakyat, asal hatimu jujur dan ikhlas,” dan yang terpenting bagi Tjokro, “Kalau kamu berjanji, tepatilah!” Maka di saat umat kesulitan menemukan pemimpin yang mereka harapkan, jangan biarkan mereka patah arang,ikhlaskan dirimu, jadilah Tjokro, becoming Tjokro.

Tulisan ini dimuat di EDUNEWS.ID, pada tanggal 22 Oktober 2016
Share this post :

Posting Komentar

 
Support : TurungkaNews | PB PemudaMuslim | KasmanPost
Copyright © 2015. Pemuda Muslimin Indonesia Sulsel - All Rights Reserved
Template by Cara Gampang Published by Cargam Template
Proudly powered by Blogger