[24.10.2016]
Mengapa Tjokro? Mungkin tanya itu menggelayut di bilik
penasaran begitu melihat judul tulisan ini. Sebab, begitu banyak tokoh
pergerakan kemerdekaan nasional yang menghiasi lembar sejarah negeri ini pada
paruh awal abad ke-20. Ada Tirto Adhi Soerjo aktivis Sarekat Dagang Islamijah,
Haji Samanhudi penggerak Sarekat Dagang Islam, atau Dr. Soetomo dengan Boedi
Oetomo-nya.
Lalu
mengapa Tjokro? Apa yang dimiliki oleh pria kelahiran Bakur, sebuah desa sunyi
di Madiun, 16 Agustus 1882 silam. Apa karena dia lahir bersamaan ketika tsunami
meluluhlantakkan Banten hingga Lampung karena letusan dahsyat Krakatau? Atau
karena dia merupakan perpaduan darah trah Susuhunan Pakubuwono II dengan darah
ulama K.H. Kasan Besari?
Jawabnya,
sebab Tjokro adalah sumber mata air bagi pergerakan kemerdekaan Indonesia
modern. Darinya mengalir deras tiga arus besar ideologi yang menjadi fondasi
kebangsaan Indonesia Merdeka: Sosialisme, Nasionalisme, dan Islamisme. Tjokro
menjadi katalisator kegelisahan anak negeri yang bermuara pada tuntutan
berpemerintahan sendiri, zelfbestuur.
Pada masa
kepemimpinannya di Sarekat Islam (SI), pergerakan kebangsaan modern pertama
yang dimiliki bangsa ini, Tjokro disokong oleh 2,5 juta anggota dari seluruh
penjuru nusantara. Melalui SI, Tjokro menabalkan dirinya sebagai Gatotkoco
Sarekat Islam yang oleh Belanda digelari Raja Jawa yang Tidak Pernah
Dinobatkan.
Dengan
telaten, pria yang terlahir dengan nama Oemar Said Tjokroaminoto, merawat benih
progresivitas pada pribadi murid-muridnya. Semaun yang mengecap sosialisme
(komunisme), Soekarno yang mendalami nasionalisme, dan Kartosoewirdjo yang
memilih Islam sebagai basis ideologi gerakannya, senantiasa mendapat tempat di
sisi Tjokro.
Tjokro
yang dengan bangga melepas status kebangsawanan, serta menghapus gelar raden
mas yang bertengger di depan namanya, berseru lantang, “Semua anggota Sarekat
Islam itu bersaudara, terlepas dari umur, pangkat, dan statusnya.” Sebab, “Bila
tanah air kita kelak menjadi suatu negara dengan pemerintahan sendiri, maka
seluruh lapisan masyarakat dan semuanya akan menuju ke arah dan bersama-sama
memelihara kepentingan kita bersama, dengan tidak oandang bulu, baik bahasa,
bangsa, maupun agama.”
Di tengah
perdebatan sengit di kalangan umat, tersebab tafsir atas surah al Maidah ayat
51, maka Tjokro punya tafsirnya sendiri mengenai pemimpin umat. Pesannya,
“Terjunlah di kalangan masyarakat, pinpinlah rakyat di desa-desa. Terjunlah
jadi dukunnya rakyat kaum tani di desa-desa.” Bagi Tjokro, perihal kepemimpinan
bukan perkara kedudukan dan jabatan formal, melainkan bagaimana seaeorang
menjadi pihak yang mampu menjawab kebutuhan mendasar dari massa rakyat yang
dipimpinnya.
Tjokro
tidak mencontohkan tipologi pemimpin umat yang tidak mempolitisasi Islam untuk
kepentingan sesaat, melainkan benar-benar menjadikan Islam sebagai jawaban atas
problem kebangsaan yang dihadapi. “Kita mencintai bangsa kita dan dengan
kekuatan ajaran agama kita (Islam), kita berusaha sepenuhnya untuk
mempersatukan seluruh dan sebagian terbesar bangsa kita,” seru pada berbagai
kesempatan.
Maka upaya
rekonstruksi kepemimpinan ala Tjokro, di tengah merosotnya kepercayaan publik
atas kepeminpinan umat, mutlak dilakukan. Selayaknya, pemimpin muda umat ini
bisa belajar dari teladan Tjokro dalam memandu dan mendidik para calon pemimpin
bangsa pada masanya.
Memamg
kita juga menyadari bahwa sebuah kemustahilan melahirkan Tjokro kembali di masa
sekarang, pada zaman dan tantangan yang berbeda. Tapi adalah hal yang sangat
mungkin dilakukan untuk mereplikasi model kepemimpinan Tjokro pada diri setiap
pemimpin umat, terutama pada mereka yang masih muda. Kita tak sedang menunggu
datangnya Tjokro sebagai ratu adil, tapi lahirnya Tjokro muda, becoming Tjokro.
Becoming
Tjokro bermakna, pemimpin muda umat ini mempersonifikasi diri selayaknya karakter
pemimpin umat yang diteladankan dan selalu dipesankan oleh Tjokro. “Kalau kamu
mau menjadi pemimpin rakyat yang sungguh-sungguh, lebih dahulu kamu harus cinta
betul-betul kepada rakyat. Korbankanlah jiwa ragamu dan tenagamu untuk membela
kepentingan rakyat, sebab kamu adalah satu bagian daripadanya.”
Becoming
Tjokro tidak akan terwujud bila para pemimpin umat, berlaku lancung dengan
menyelewengkan potensi umat menjadi tak lebih dari sekedar angka-angka suara
pada dinamika politik elektoral, atau sebagai kerumunan massa besar yang bisa
dibelokkan sesuai dengan kepentingan dan hasil negosiasi para makelar massa
yang berkedok gelar sebagai pemimpin umat.
Sebab
pemimpin ala Tjokro adalah mereka yang memimpin dengan hati yang jujur dan
ikhlas. “Percayalah, bahwa Allah tidak akan sia-siakan segala hal usahamu
sebagai pemimpin rakyat, asal hatimu jujur dan ikhlas,” dan yang terpenting
bagi Tjokro, “Kalau kamu berjanji, tepatilah!” Maka di saat umat kesulitan
menemukan pemimpin yang mereka harapkan, jangan biarkan mereka patah
arang,ikhlaskan dirimu, jadilah Tjokro, becoming Tjokro.
Tulisan
ini dimuat di EDUNEWS.ID, pada tanggal 22 Oktober 2016
Posting Komentar