OPINI, Selama ini kebanyakan orang memandang kurban
hanyalah sebatas ajaran (doktrin) dalam Islam, berdasarkan peristiwa yang telah
dicontohkan dalam sejarah. Tapi hanya berhenti sampai di situ, tidak
menyelidiki seluruh seluk-beluk dan akar masalah mengapa seruan untuk berkurban
itu muncul.
Padahal, kurban, selain sebagai doktrin, juga adalah
sebuah produk sejarah. Maka perlu kiranya menganalisis kurban dari dua sisi
tersebut, demi menemukan makna-makna yang tersembunyi di balik peristiwa kurban
itu.
Kurban berasal dari kata dalam bahasa Arab qaraba yang
berarti dekat. Asal kata itu juga telah diadopsi ke dalam bahasa Indonesia,
yaitu karib atau kerabat.
Kurban dalam ajaran Islam berarti mengorbankan segala
sesuatu demi mendekatkan diri kepada Allah yang secara simbolis diekspresikan
melalui penyembelihan hewan ternak, bisa berupa sapi, kibas, kambing dan domba.
Dari sudut pandang doktrin, kurban atau penyembelihan
pada hari raya Idul Adha memang merupakan salah satu ajaran atau doktrin dalam
Islam, perintah melaksanakan kurban terdapat dalam QS. Al-Kautsar ayat 2:
Artinya: “Maka dirikanlah shalat karena Tuhanmu; dan
berkorbanlah”.
Perintah berkurban seperti yang diketahui, berasal
dari kisah Nabi Ibrahim yang diuji keimanannya oleh Allah SWT. Awalnya Nabi
Ibrahim diuji kesabarannya dengan tidak diberikan seorang anak, nanti setelah
berumur 83 tahun barulah Ibrahim dikaruniai anak bernama Ismail.
Belum lagi berlangsung lama kebahagiaannya, tiba-tiba
datang perintah untuk memenuhi perintah Allah, maka ditinggalkanlah istri dan
anaknya di tengah padang pasir yang tandus, kering dan panas. Hingga Ismail
besar, Ibrahim diperintahkan untuk menyembelih anaknya, Ismail.
Secara psikologis, bahwa betapa bahagianya Ibrahim
yang hidup berpuluh-puluh tahun tanpa buah hati, tiba-tiba dikaruniai seorang
anak. Akan tetapi muncul perintah untuk menyembelih anak yang baru saja
dikaruniakan itu, Ibrahim harus memenuhinya sebagai manifestasi keimanan.
Maka dalam narasi kitab suci Al-Qur’an berdasarkan
penafsiran mayoritas menceritakan bahwa semula Ismail yang akan menjadi kurban
sembelihan ayahnya sendiri, berubah menjadi seekor kibas (sejenis sapi). Itulah
narasi sejarah kurban dalam konteks doktrin.
Selanjutnya, bagaimanapun karena peristiwa kurban itu
diceritakan dalam kurun waktu tertentu, yakni pada masa Nabi Ibrahim hidup,
maka kurban juga merupakan produk sejarah.
Menurut
kuntowijoyo bahwa “sejarah adalah konstruksi masa lampau”. Dengan kata lain
bahwa sejarah merupakan penggambaran selain kepada fakta-fakta yang terjadi di
masa lampau, juga menggambarkan tentang keadaan, kondisi sosiologis dan
psikologis serta struktur masyarakat pada saat itu.
Dalam sejarah, bahwa Nabi Ibrahim hidup di zaman
dimana masyarakat bercorak pemikiran teologis individualistik. Saat itu agama
dijadikan alat untuk menindas, menipu, dijadikan alat kekuasaan, serta
dijadikan sebagai pembatas kelas-kelas sosial yang ada di masyarakat.
Di sini agama bukannya berfungsi sebagai nilai yang
menaikkan derajat kemanusiaan serta menanamkan semangat egalitarianisme,
melainkan sebagai legitimasi kekuasaan dan ladang penghasilan bagi para pembuat
berhala. Dengan kata lain nilai-nilai tidak menjadi kesadaran masyarakat saat
itu.
Meminjam analisis dari Anthoni Giddens tentang teori
strukturasi, bahwa tindakan aktor berperan dalam perubahan struktur. Posisi
Ibrahim kala itu hadir sebagai aktor yang hendak merubah sejarah, yaitu
masyarakat yang jahiliyah ke masyarakat yang berkesadaran nilai.
Disini Ibrahim memiliki kesadaran motivasi,
rasionalitas hingga monitoring refleksi tindakannya terhadap struktur
masyarakat kala itu. Hanya saja kesadaran itu bukanlah sepenuhnya berasal dari
Ibrahim sendiri, melainkan dalam hal ini wahyu Allah ikut pula berperan
membimbing dan mengarahkan.
Maka dapat dipahami bahwa narasi penggantian Ismail
menjadi hewan kibas dalam sejarah kurban itu bukanlah bermakna bagi keimanan
Ibrahim sendiri, melainkan sebagai pelajaran untuk masyarakat kala itu. Ibrahim
berhasil menunjukkan bahwa agama (Tauhid) yang dibawanya itu mengajarkan betapa
berharganya kehidupan manusia.
Hal itu ditunjukkan di tengah masyarakat yang wataknya
jahiliyah, dimana mereka tidak segan-segan melakukan apapun, termasuk
menyembelih anak-anak mereka demi berhala yang mereka sembah dan demi kekuasaan
yang mereka junjung tinggi.
Bagi kita yang hidup di masa sekarang, kurban selain
sebagai ajaran yang dikelilingi oleh hukum-hukum syariat dalam tataran
pelaksanaan, juga direfleksikan sebagai nilai-nilai yang harus terus dihidupkan
serta menjadikannya sebagai kesadaran kritis dalam setiap tindakan.
Maka seyogyanya kurban tidak dilepaskan dari
sejarahnya, yaitu tidak sekadar melaksanakan ritualnya, tapi juga menanamkan
spirit kurban yang telah dicontohkan oleh Nabi Ibrahim AS dalam kehidupan
masyarakat.
Saeful Ihsan, S.Pd.I. Ketua Umum Pimpinan Wilayah
Pemuda Muslimin Indonesia Provinsi Sulawesi Tengah.
Posting Komentar