[17.10.2018] Kerlip cahaya kandil,
menerobos dinding papan bangunan masjid di kompleks pesantren Bola Asalamakeng.
Saat sebagian besar murid masih terlelap dalam naungan malam, Syekh Muhammadong
dan beberapa murid utama telah usai menegakkan salat lail dan bersiap utuk
zikiran. Nampak Abu Bakkareng, Yummareng, Yusemanu dan I Yali duduk dalam
lingkaran. Mereka menanti Syekh Muhammadong untuk duduk dan menuntun lantunan
zikir.
Meski
oleh murid-muridnya telah ditunggu lumayan lama, Syekh Muhammadong masih
mondar-madir di teras masjid pesantren, entah apa di pikirannya. Maka ketika
dia akhirnya duduk di tempatnya, Abu Bakkareng sebagai murid paling senior,
berani melontar tanya pada gurunya.
"Maafkan
muridmu yang daif ini Syekh, bolehkah saya melontar secebis tanya?" Ujar
Abu Bakkareng.
"Ada
apa? Tak biasanya kau meminta izin bila ingin bertanya.”
“Karena
ni menyangkut hal yang bersifat pribadi sifatnya, Syekh.”
“Oh,
memangnya, apa yang hendak kau tanyakan, Abu?"
"Maaf
Syekh, beberapa hari ini Syekh terlihat gelisah setiap usai zikiran, ada apa
gerangan Syekh?"
"Wah,
aku kelihatan begitu?" Sambil mengelus janggutnya yang sudah memutih.
"Iya
Syekh." Jawab Abu Bakkareng pintas.
Syekh
Muhammadong terdiam mendengar tanya muridnya. Melihat itu, murid-murid utama
yang hadir saling melirik, suasana menjadi agak tegang.
“Aku
tak harus menjawabnya, kan?” Ujar Syekh Muhammadong kemudian.
“Tidak
apa-apa ya Syekh.”Jawab Yummareng segera.
“Itu
hanya rasa penasaran Abu Bakkareng semata.” Timpal I Yali.
“Heheheh….
Tidak apa-apa, rasa penasaran Abu bukan hal yang salah.” Jawab Syekh
Muhammadong selanjutnya. Mendengar itu, murid-muridnya menjadi lega.
“Tapi…”
“Tapi
apa ya Syekh?” Kali ini Yusemanu yang merespon.
“Meski
memang kecurigaan kalian bahwa aku didera gelisah itu benar, tapi aku belum
bisa mengungkapkan alasannya.”
* * *
* *
Astagfirullah,
ternyata ibadahku selama ini bukanlah apa-apa ya Allah. Gumamku dalam hati
sambil menyeka jidat yang lembab oleh keringat. Ampuni aku ya Rabbi…. Kembali
kulafaz istighfar. Mereka tak salah saat merasa aku sedang gelisah. Mereka tak
keliru bila ikut gelisah melihat panutannya
dilanda cemas. Gelisah dan cemas yang tak mereka tahu sebabnya, dan aku
masih berat untuk menceritakannya.
Ini
bermula sejak malam jumat terakhir pada bulan yang lalu. Di tengah zikir, aku
merasa cahaya yang biasa melingkupiku, perlahan kian benderang. Bersamaan
ketika cahaya itu menyelimutiku, kehangatan juga menjalari sekujur tubuhku.
Tubuhku yang berselimut cahaya, bergerak ke atas, perlahan membelah angkasa.
Pengalaman itu aku alami dan berulang pada hari-hari berikutnnya, setiap hari
kian benderang, setiap aku melafazkan zikir.
Namun
sudah dinihari sepekan terakhir, ada yang membuatku takjub. Tentu itu bukan
diriku sendiri dan pencapaian-pencapaian spiritualku, aku berlindung kepada
Allah dari ujub dan takabur. Dalam perjalanan yang kulakukan, aku selalu dibuat
terhenyak oleh lintasan cahaya yang meluncur deras menyalip diriku. Cahayanya
pun begitu benderang dan menyilaukan. Siapa gerangan yang punya daya spiritual
sebesar itu di sekitar pesantren ini, dan aku tak mengetahuinya?
Itulah
sebab, mengapa beberapa hari terakhir aku menyilakan murid-murid utamaku
menjalani laku zikirnya sebelum aku sendiri memulai. Aku mencoba mengintip aura
spiritual mereka semua,tak ada yang istimewa, perkembangannya memang seperti
yang saya harapkan. Saat mereka mulai merapal zikir, kulihat cahaya berpijar
menyelubungi tubuh-tubuh mereka, tipis, dimulai dari ubun-ubun, tapi tak ada
yang melejit seperti yang mengherankanku sepekan terakhir. Lalu siapa cahaya
cerlang itu?
Jangkauan
proses pencarian kuperlebar radiusnya, kulacak ke seluruh santri di pesantren,
tak ada yang istimewa, hampi semua masih awam dengan maqam ini. Maka kuputuskan
meluaskan pencarianku hingga ke masyarakat sekitar. Aku anjangsana menemui
warga di luar pesantren, selain bertujuan silaturrahim, pun melacak sumber daya
spiritual yang mumpuni itu. Hingga kutemukan, tak ada satupun warga yang
memiliki apa yang kucari.
Seorang
warga memberi kabar, ada seorang kakek yang baru pindah, sementara berladang di
kaki bukit, dia membangun pondoknya agak terpisah dari perkampungan. Berkat
kebaikan hati I Yali, salah satu muridku, kuperoleh informasi tenangnya. Dia
hanyalah seorang petani biasa yang sudah renta, tinggal sebatang kara, bercocok
tanam ubi dan sayuran, serta memelihara beberapa ekor ayam dan itik. Tak ada
sapi, kambing, atau pun kuda.
Jawaban
itu tak memuaskanku, maka kuberanikan diri untuk mencari informasi langsung ke
orang tua itu, seorang diri. Apalagi dalam perjalananku semalam, sepertinya,
cahaya menyilaukan itu memang beranjak dari arah pondok sederhananya. Demi
menemukan shirat al mustakim, aku yang oleh masyarakat luar dikenal sebagai
Syekh Muhammadong, tak merasa rendah diri bila harus berburu kebenaran dari
arah mana pun dan dari siapa pun. Maka selepas asar, aku mengunjungi petani tua
itu.
* * *
* *
“Masya
Allah, keberkahan apa gerangan yang dianugerahkan Allah padaku sehingga tuan
Syekh berkenan mampir ke pondokku yang sederhana ini?” Si petani tua tergopoh
menyambut kedatangan Syekh Muhammadong, tangannya yang keriput menyongsong
tangan Syekh Muhammadong, menjabat, lalu diciumnya.
“Jangan
sungkan Pak…”
“Nama
saya La Jiberilu, tuan Syekh, tapi panggil saja Jibe’.”
“Saya
datang sebagai sesama saudara yang hendak mengeratkan ikatan silaturrahim, Pak
Jibe’.” Terang Syekh Muhammadong, matanya mengedar memandang suasana sekeliling
pondok.
“Ayo
silakan tuan Syekh, kita berbincang di pondok sederhana saya, bila tuan Syekh
berkenan.” La Jiberilu menuntun Syekh Muhammadong yang datang dengan pakaian
kebesarannya, menaiki tangga pondoknya.
Di
dalam pondok yang temaram, Syekh Muhammadong melihat di sana hanya ada tikar
rotan yang sudah lusuh meski kebersihannya terjaga.
“Silakan
duduk tuan Syekh, maaf, cuma tikar ini yang ada,” La Jiberilu seperti membaca
pikiran Syekh Muhammadong.
“Maafkan
saya tuan Syekh, rasanya hal yang muskil bila kunjungan ini sekadar
silaturrahim biasa.” Seru La Jiberilu sambil memperbaiki duduk silanya.
“Baiklah
Pak Jibe’, sesungguhnya kedatangan saya ke sini untuk belajar pada Pak Jibe’.”
“Wah..
wah.. wah.., apa saya tidak salah dengar? Jangan bercanda dan mempermainkanku
tuan Syekh.”
“Aku
tidak bercanda Pak Jibe’, tolong terimalah pinta sederhanaku ini?”
“Ini
bukan perkara sederhana tuan, bagaimana mungkin saya bisa mengajari seorang ulama
besar seperti tuan Syekh?” Terlihat La Jiberilu gemetar.
Melihat
tanggapan La Jiberilu, Syekh Muhammadong membetulkan letak serbannya lalu
tersenyum lebar.
“Kumohon
berhentilah merendah Pak Jibe’, aku tahu betul siapa Pak Jibe’.” Ujar Syekh
Muhammadong.
“Aduh,
sepertinya tuan Syekh salah orang. Baiknya kita menyegarkan kerongkongan dulu,
biar tuan Syekh bisa memandang saya secara jernih.”
Setelah
menyelesaikan kalimatnya, La Jiberilu menjangkau ke belakang punggungnya, dari
sana tangannya membawa dua gelas sarabba yang masih mengepul.
“Silakan
tuan, ala kadarnya.”
Saat
menyeruput sarabba yang dihidangkan, La Jiberilu kembali menjangkau ke balik
punggungnya, dari sana dia mengacungkan sepiring pisang goreng beserta sambel
terasi yang segar, dihidangkannya ke hadapan Syekh Muhammadong. Melihat itu,
Syekh Muhammadong mencoba menajamkan pandangan dalam pondok yang temaram itu,
tak ada sesiapa selain mereka berdua. Jadi siapa gerangan yang menyediakan
makanan itu untuk mereka?
“Silakan
tuan Syekh, hanya makanan sederhana dari alam sekitar.” Seru La Jiberilu dengan
tersenyum, sambil terus menjangkau dan menghidangkan makanan. Setelah pisang
goreng, menyusul sekeranjang buah, ada beberapa buah jeruk manis, setangkai
anggur, beberapa biji salak, pisang raja, bahkan apel. Syekh Muhammadong
bergumam lirih, “Betul tebakanku, dialah sumber cahaya itu. Tak salah lagi, aku
harus berguru di sini, tak mungkin orang awam punya karomah sedemikian ini.”
Cuma dalam hati.
Setelah
merasa cukup menikmati hidangan yang disajikan, Syekh Muhammadong kembali
mengemukakan harapannya untuk berguru.
“Pak
Jibe’, kumohon sekali lagi agar bersedia membimbingku di jalan ini.”
“Apa
yang bisa kuajarkan kepada seorang Syekh seperti tuan?”
“Tentu
Pak Jibe’ lebih paham apa yang aku butuhkan, kumohon.” Syekh Muhammadong meraih
tangan La Jiberilu lalu mengecupnya lembut. Yang diperlakukan demikian hanya
tersenyum keki melihat tingkah tamunya.
“Baiklah,
bila memang tuan Syekh memaksa, silakan tuan memejamkan mata, jangan membukanya
sebelum kupinta.” Tangan mereka masih berjabatan.
“Insya
Allah, Pak Jibe’ akan menemukan aku sebaga seorang pencari yang taat.” Syekh
Muhammadong memejamkan kedua belah matanya, La Jiberilu melakukan hal serupa.
Dari jauh, terlihat cahaya berpendar dari sela dinding pondok tersebut, sore
itu menjadi benderang karenanya, meski cahaya tak terlihat oleh mata awam.
* * *
* *
Tak ada
apa-apa ditengah lautan lepas, hanya terik mentari yang memantul-mantul di muka
gelombang, sepertih serpih berlian yang berkilau. Tiba-tiba, entah datang dari
mana, dua orang lelaki paruh baya duduk mengambang di atas permukaan ombak,
serupa buih yang mengapung. Masing-masing mengenakan jubah putih dan berserban
dengan warna putih pula. Mata keduanya terpejam, sementara tangan kanan mereka
saling menjabat. Tak ada air, bahkan percik terkecil sekali pun yang berani
menjamah pakaian mereka.
“Bukalah
mata anda, tuan Syekh.” Seru salah seorang di antaranya yang ternyata La Jiberilu.
Orang yang disapa Syekh itu, tentulah Syekh Muhammadong, dia perlahan
menggerakkan kelopak matanya, dan memandang ke depan. Begitu menyadari
keberadaannya yang terombang-ambing di atas gelombang, dia terlonjak dan oleng.
Beruntung tangannya tak dilepaskan oleh La Jiberilu yang sekali sentak membuat
posisi Syekh Muhammadong kembali bersila dengan stabil.
“Kita
berada di mana Pak Jibe’?”
“Di
tengah lautan lepas, tuan Syekh.”
“Kenapa
kita berada di sini? Lalu pakaian Pak Jibe’?”
“Kan
tuan hendak belajar dari saya.”
“Tapi
saya tak minta di bawa ke sini.”
“Ini
syarat saya, tuan. Saya hanya bisa mengajarkan apa yang tuan cari di tengah
laut ini.” Terang La Jiberilu. Mendengar itu, Syekh Muhammadong hanya bisa
masygul.
Setelah
menata pikiran dan perasaan, Syekh Muhammadong mulai mampu menyesuaikan diri
dengan keadaan dan siap mendengar paparan La Jiberilu.
“Jadi,
silakan Pak Jibe’ jelaskan, insya Allah aku akan jadi pendengar yang baik.”
Ujar Syekh Muhammadong sambil memperbaiki duduk silanya, tanpa melepas tangan
La Jiberilu. Tak ada jawab dari La Jiberilu, namun tiba-tiba dia melepas
tangannya dari genggaman Syekh Muhammadong. Setelah itu, perlahan La Jiberilu
menjelma menjadi sekadar bayang yang akhirnya lenyap sama sekali.
“Silakan
Tuan Syekh berusaha menyelamatkan diri, sebab sejak ini, tubuh tuan akan
perlahan tenggelam.” Suara La Jiberilu terdengar entah dari mana.
Seiring
hilangnya suara La Jiberilu, Syekh Muhammadong yang sebelumnya terapung,
sekarang tenggelam sebagaimana biasanya orang bermain di laut. Maka dengan
sekuat tenaga, Syekh Muhammadong menjaga dirinya agar tetap terapung, memutar
kepalanya mencari ke segala penjuru ke arah mana gerangan gerakan renangnya
akan diarahkan. Namun sejauh mata memandang, yang ada hanya horizon yang
sepenuhnya air.
Setelah
memastikan arah dengan berpediman pada posisi matahari, Syekh Muhammadong
bergerak ke arah utara, namun setelah dia merasa sudah jauh berenang dan belum
ada tanda-tanda daratan di depannya, Syekh Muhammadong membalik arah
berenangnya ke timur. Tak lama, dia membanting haluan ke selatan, lalu ke
barat. Hingga nafasnya tersengal, kaki dan lengannya letih, tak ada tanda-tanda
daratan yang dituju. Segala teknik renang sudah dia keluarkan untuk tetap
mengapung, meski akhirnya, tarikan air laut tetap lebih kuat.
Saat
setiap upaya yang mungkin telah dilakukan dan semua ikhtiar telah dicoba, Syekh
Muhammadong didera letih yang tak tertanggungkan. Lengan dan tungkai kaki
menjadi kram, maka upaya terakhir yang menjadi pilihan adalah menahan nafas
sekuat-kuatnya saat tubuhnya perlahan karam. Kala dadanya sudah demikian
tertekan, air laut sudah merembes melalui mulut dan hidung yang kehilangan
kendali, ingatannya menjangkau-jangkau memantik sebait doa yang menjadi simpul harap
pada seluruh aliran darah dan kesadarannya, Laa hawlaa walaa quwwata illaa
billah.
Semua
hampa, tak ada suara, tiada bunyi dan cahaya. Syekh Muhammadong merasa tubuhnya
melayang, terombang-ambing di tengah gumpalan air samudra. Tiba-tiba sesuatu
mencengkeram lengannya, membetot tubuhnya ke permukaan air. La Jiberilu
membaringkan tubuh Syekh Muhammadong lalu membantunya mengeluarkan air yang
sempat tertelan. Setelah beberapa saat, kesadaran pimpinan pondok pesantren
Bola Asalamakeng perlahan kembali. Dia melihat tubuh La Jiberilu yang duduk
bersila di sampingnya seumpama siluet.
“Tuan sudah
sadar?” Ujar La Jiberilu tanpa menunggu jawaban. Sambil membopong tubuh Syekh
Muhammadong, tubuhnya menghilang dari permukaan samudra dan muncul di sebuah
tepian pantai. Diturunkannya Syekh Muhammadong, dibiarkan tergolek di atas
pasir. Dipegangnya lembut pundak Syekh yang hendak berguru padanya itu.
“Tuan,
semoga pengalaman ini membuat Tuan menyadari apa yang hilang dari berbagai
ikhtiar, doa, dan ibadah Tuan selama ini.” La Jiberilu kemudian berlalu secepat
hembusan angin dan kedipan mata.
Notabene:
Disadur
dari kisah yang dituturkan oleh Ustaz H. Muhlis Zamzami Can An-Nadwi
Posting Komentar