PIMPINAN WILAYAH
PEMUDA MUSLIMIN INDONESIA
PROVINSI SULAWESI SELATAN 2014 - 2018
~Isy Kariman Aumut Syahidan~

Area Bebas Kerja, Adakah?

[09.09.2019] Beberapa waktu lalu, aku memamah tulisan lawas dari Bob Black yang berjudul Penghapusan Dunia Kerja pada sebuah postingan di webblog. Tulisannya lumayan panjang, mungkin karena itu pula tulisan tersebut mampu menyajikan ulasan perihal hidup dan kerja sebagai sebuah kelindan tak berujung, secara jernih.

Salah satu kupasan yang lekat dengan cukup kuat dalam ingatanku adalah perihal waktu luang. Bob membongkar dengan kejam pemahaman kolektif publik selama ini akan makna waktu luang. Bagi Bob, waktu luang bukanlah waktu bebas kerja, malah, di sanalah belenggu kerja terlihat dengan nyata dan terang.

Waktu luang, yang kita persepsi sebagai area tanpa kerja, hanyalah sebentuk ilusi, sebab sejatinya, di wilayah itulah kita merancang rencana, mengumpul tenaga, dan menyiapkan emosi agar aktivitas kerja setelah waktu luang berakhir, menjadi lebih berkualitas. Lalu pantaskan waktu luang itu disebut bebas dari kerja? Nyatanya tidak.

Seorang pekerja kantoran misalnya, yang punya jadwal kerja tetap selama enam koma lima jam perhari sepanjang hari senin hingga jumat, mungkin terlihat bisa membebaskan diri dari kerangkeng kerja di luar jam itu. Tapi dalam analisa Bob, ternyata tak seindah itu.

Malam hari, sepulang dari kantor, pekerja kantoran istirahat dan tidur cepat agar bisa bangun pagi dengan segar supaya bisa ke tempat kerja dengan ceria. Pagi - pagi mereka berpacu dengan waktu untuk mandi dan sarapan, menyeterika pakaian, memandikan anak dengan tergesa, agar tak telat sampai di tempat kerja. Lihatlah, semua demi kerja.

Bahkan di akhir pekan, saat mereka memilih berwisata dengan keluarga, tetangga atau rekan kerja, tentu dengan alasan untuk melepas penat setelah lima hari berjibaku di dunia kerja. Tapi apakah sebatas itu? Tentu tidak, mereka berwisata untuk menyiapkan diri agar bisa bekerja dengan baik di pekan depan.

Belum lagi bila ada pekerjaan tambahan, atau ada perintah atasan, maka dalam sehari bisa saja mereka bekerja lebih dari enam koma lima jam, bisa saja sabtu dan ahad yang sebelumnya dikenal sebagai waktu luang --meski sejatinya sebagai hari kerja terselubung, menjadi terampas dan menjelma menjadi hari kerja nyata.

Terkadang, sudah terlambat pulang, sabtu dan ahad terampas menjadi hari kerja, ditambah pula dengan melanjutkan pekerjaan di rumah, saat seharusnya mereka bercengkrama dengan keluarga atau tidur malam. Di situasi sedemikian, hati kecilku bertanya, apa makna hidup sesungguhnya, apakah sebatas kerja, kerja, dan kerja? 

Lalu apa kerja itu? Supaya kita menjadi lebih manusiawi seperti daku perspektif Marxian? Tapi bukankah faktanya tak demikian? Kerja malah membuat kita kehilangan hidup, kita menjadi tak lebih dari sekadar sekrup dalam sebuah mesin besar, seperti ilustrasi Syariati. Kita tak lagi punya hidup, momen waktu yang dilewati dengan kesenangan manusiawi dan tanpa bayang - bayang kerja.

Seorang ahli, Stephen R. Covey bahkan mengeluarkan resep agar kita bisa menjadi sekrup yang awet dan tidak cepat aus di dunia kerja: Asahlah Gergaji. Demikian sarannya dalam The 7 habits for Highly Effective People. Menurutnya, sebuah gergaji tidak akan efektif bila dipakai selama berjam-jam tanpa henti. Efektivitas penggunaan gergaji bisa dijaga bila diistirahatkan dan diasah secara rutin dalam jadwal reguler.

Lihatlah, dengan analogi gergaji yang diasah, Covey sesungguhnya sedang menegaskan bahwa waktu luang, akhir pekan, atau cuti bersama, tak lebih dari sebuah masa untuk mengasah gergaji, agar kembali menjadi tajam dan siap digunakan. Itu berarti, kita istirahat di malam hari, di akhir pekan, atau di saat cuti bersama, tak lebih agar kita bisa kembali bekerja dengan baik.

Bukankah ini sebuah ilustrasi terang betapa kerja telah menjadi sebuah lingkaran setan yang menakutkan dan penjara panoptik bagi kebebasan manusiawi kita? Mungkin itulah mengapa, Joko Pinurbo, menyindir kehidupan yang sedemikian dengan begitu sarkastik.
Tak ada lagi minggu dalam diriku,
seluruh tubuhku 
sudah jadi hari kerja
dan hari bicara

Tulisan ini pun sesungguhnya bekerja dalam logika waktu luang. Aku menulis sebagai sebentuk pengobatan, menyegarkan pikiran, menenangkan emosi, agar setelahnya, bisa kembali bekerja dengan baik, menjadi sekrup yang tak lekas aus. Mungkin begitupun dengan anda yang membacanya.

Namun setidaknya, selama dan setelah menulis serta membaca tulisan ini, kita bisa mengeluarkan sumpah serapah dan cacian terhadap belenggu dunia kerja. Walau setelahnya, kita lalu kembali menceburkan diri dalam belukar tak berujung itu, dan berpura - pura menikmatinya sebagai realitas hidup yang tak mungkin ditolak.

Hidup Kerja!
Share this post :

Posting Komentar

 
Support : TurungkaNews | PB PemudaMuslim | KasmanPost
Copyright © 2015. Pemuda Muslimin Indonesia Sulsel - All Rights Reserved
Template by Cara Gampang Published by Cargam Template
Proudly powered by Blogger