OPINI - Demokrasi itu adalah alat kerja kultur, alat kerja sosial bahkan alat kerja politik sekaligus. Alat kerja ini tak hanya mempersoalkan tentang pranata membangun politik saja, seperti soal dewan perwakilan atau juga kontestasi pemilu. Tetapi demokrasi itu, menginginkan bagaimana cara membangun sikap mental, spirit, yang tentunya merupakan core values pada dirinya sendiri. Semisal soal toleransi, "kesamaan (egaliter)" dan kebebasan.
Tetapi yang terjadi sekarang, lebih pada pranata-pranata politik saja. Contoh kompromi yang dilakukan oleh para dewan perwakilan rakyat (DPR) yang merevisi UU KPK yang bersifat tertutup dan melemahkan semangat demokrasi. Sehingga yang terjadi, demonstrasi besar-besaran menolak hal tersebut. Memang kalau kita lihat, apa yang dilakukan oleh DPR ini adalah bagian dari demokrasi juga karena ada kesamaan (egaliter) keinginan untuk menyelamatkan para mantan (eks) DPR yang gagal pada kontestasi Pemilu Legislatif kemarin, yang ujungnya tak menjabat lagi.
Nah sebagai antisipasi hal tersebut untuk tak diperiksa oleh KPK dan tak tertangkap tangan bahwa ia terkena korupsi maka melakukan tindakan seperti ini. Apalagi mengingat yang paling banyak diciduk adalah anggota DPR sebagaimana dari hasil pengumuman lembaga KPK. Itulah sebabnya mereka akan mencari jalan yang aman dengan cara melemahkan UU KPK, agar ketika kelar jabatan DPR nya, dirinya terasa aman dan tak terjadi apa-apa.
Dalam pengertian doktrin Egalitas (kesamaan) ini ternyata mempertahankan hakikat semua orang yang sifatnya sama dalam status nilai atau moral secara fundamental. Sementara itu Egaliterianisme yang di maksud demokrasi itu tidak bersifat eksklusif tetapi inklusif. Yang hanya self interest sebagaimana dalam kapitalisme, tapi bicara secara universal. Seperti John Lucke katakan bahwa demokrasi itu 'Pemerintahan Untuk Rakyat' bukan pemerintahan untuk anggota DPR.
Dalam pengertian doktrin Egalitas (kesamaan) ini ternyata mempertahankan hakikat semua orang yang sifatnya sama dalam status nilai atau moral secara fundamental. Sementara itu Egaliterianisme yang di maksud demokrasi itu tidak bersifat eksklusif tetapi inklusif. Yang hanya self interest sebagaimana dalam kapitalisme, tapi bicara secara universal. Seperti John Lucke katakan bahwa demokrasi itu 'Pemerintahan Untuk Rakyat' bukan pemerintahan untuk anggota DPR.
Itulah sebabnya Nurcholish Madjid (Cak Nur) dalam bukunya 'Islam Kemodernan dan Keindonesiaan' menekankan bahwa "manusia itu diseru untuk senantiasa menggalang kerjasama atas dasar kebaikan dan tanggung jawab kepada Tuhan.'' Bahkan Cak Nur menambahkan dengan tegas bahwa "Untuknya itu manusia harus didorong agar senantiasa mencari titik-titik persamaan (egaliter) sebanyak mungkin antara berbagai komunitasnya," bukan hanya komunitas sendiri yang bersifat keuntungan sendiri lalu merugikan komunitas yang lain (masyarakat).
Lanjut Cak Nur, bahwa Egaliterianisme itu, 'kuat sekali menyangkut pula rasa dan kesadaran hukum, dan kesadaran bahwa tak seorang pun dibenarkan berada di atas hukum.' Sehingga kalau yang dilakukan adalah cacat prosedur hukum tentu melanggar sebuah system Demokrasi dan Egaliterianisme Cak Nur, sebagaimana yang ingin dilakukan oleh DPR ini.
Olehnya itu, karena demokrasi hadir sebagai kebutuhan budaya, sosial dan politik, maka mesti kebutuhan ini dirasakan secara universal, yakni kesamaan keinginan tentang Indonesia maju. Karena itu pula, setiap konstitusi mengikat semua warga masyarakat sebagaimana termaktub dalam Demokrasi, tentunya harus ditaati serta dipatuhi dengan konsekuen, sesuai dengan perintah agama dan negara untuk menaati setiap perjanjian dan kesepakatan bersama.
Ahmad Abdul Basyir, Ketua Umum Dewan Pimpinan Cabang (DPC) Sarekat Mahasiswa Muslimin Indonesia (SEMMI) Kabupaten Takalar.
Ahmad Abdul Basyir, Ketua Umum Dewan Pimpinan Cabang (DPC) Sarekat Mahasiswa Muslimin Indonesia (SEMMI) Kabupaten Takalar.
Posting Komentar