PIMPINAN WILAYAH
PEMUDA MUSLIMIN INDONESIA
PROVINSI SULAWESI SELATAN 2014 - 2018
~Isy Kariman Aumut Syahidan~

Mereka Khazanah Kepenulisan

[05.10.2019] Dalam perbahasan perihal kepenulisan, biasanya, pertanyaan yang sering muncul adalah soal yang sangat teknis, bagaimana cara menulis. Barulah setelah itu, menyusul masalah tentang tema tulisan, apa yang bisa atau harus ditulis. Disadari atau tidak, pertanyaan tersebut sesungguhnya melalaikan perbualan dari menilik hal mendasar dalam kepenulisan.

Sebelum jauh mengurai masalah teknis menulis dan tema tulisan, selayaknya, pertanyaan Jean-Paul Sarte, Apakah Menulis Itu? yang dijadikannya sebagai tajuk tulisan dalam kumpulan Menulis Itu Indah: Pengalaman Para Penulis Dunia (2016 : 64) patut kita renungkan dan jawab bersama. Mengapa demikian? Sebab jawaban bagi tanya ini akan menetukan tema dan karakter tulisan seseorang.

Dalam buku yang sama, Sartre (2016 : 90) menjawab sendiri pertanyaannya, menulis itu merupakan suatu usaha; karena para penulis adalah makhluk yang hidup sebelum kemudian menjadi mayat. Dalam buku yang sama, Umberto Eco (2016 : 223) mendaku bahwa aktivitas menulis merupakan kewajiban politisnya. Sementara pada tempat lain, Paul Jennings* berkata bahwa menulis adalah keperluan pribadi bukan tugas, karena di dalamnya ada kesenangan dan manfaat untuk kehidupan sehari-hari. Ada nilai yang tak terukur dalam menulis.

Berkaca pada jawaban Sartre, Eco, dan Jennings, dapat dikatakan bahwa menulis merupakan aktivitas yang punya beragam defenisi yang saling melengkapi dan menguatkan. Berikut beberapa pemahaman mengenai menulis yang bisa jadi bahan renungan bersama. Pertama, menulis berarti hidup. Saat kegiatan tulis-menulis dijalankan, maka pada saat itu seorang penulis sedang mengaktualisasi diri. Menulis sedang menghidupkan jiwanya dalam bentuk karya tulis.

Kedua, menulis berarti membebaskan. Ketika menulis, seorang penulis menjelma menjadi sang pencipta. Ia bebas mengekspresikan diri sepuasnya karena tulian sebagai ranah, benar-benar milik adalah miliknya. Tulisannya adalah wilayah kekuasaannya, sehingga ia bebas melakukan apa saja di dalamnya. Ketiga, menulis berarti berbagi. Saat menulis, seorang penulis sedang mencoba untuk berbuat sesuatu bagi orang lain, beramal. Penulis berbagi melalui tulisan, dengan harapan tulisannya akan bermanfaat bagi orang lain.

Keempat, menulis berarti berbicara. Menulis sebenarnya perbincangan seorang penulis dengan orang lain, pembacanya. Saat menulis, imajinasi seorang penulis sedang bercerita dengan orang lain, maka pada saat itu kata - kata akan meluncur dengan deras. Kelima, menulis adalah kesenangan. Saat jemarinya menulis, saat itulah penulis sedang bermain dengan rangkaian kata-kata. Tak perlu khawatir bahkan bila kosakatanya berantakan, yang penting setiap huruf mengalir begitu saja sesuai dengan perasaan yang ingin diciptakan.

Bila anda telah menemukan sendiri jawaban anda, maka saatnya kini untuk beranjak pada soal apa bagaimana cara menulis. Mengenai ini, baiknya longok sejenak ke Josip Novakovich, penulis fiksi yang mendapatkan berbagai penghargaan sastra di Amerika, meski dia kelahiran Kroasia. Untuk tanya sedemikian, ia akan menjawab singkat, Duduk dan lakukan!”** meski sesungguhnya menulis tak sesederhana itu.

Cara menulis, ditentukan oleh jenis kelamin yang kita pilih: fiksi atau nonfiksi. Lalu apa selisih kedua jenis tulisan ini? Titik utama perbedaan antara penulis fiksi dan penulis nonfiksi, terletak pada cara mereka menceritakan ulang sebuah fakta. jadi sesungguhnya, baik penulis fiksi maupun nonfiksi, keduanya tetap berpijak pada fakta, tapibagaimana fakta itu dituturkan ulang, di situ titik percabangannya mengemuka.

Setiap penulis fiksi adalah mereka yang aktivitas menulisnya diisi dengan mengubah berbagai macam hal, membesar-besarkan dan mempercantiknya, bahkan memperkenalkan berbagai tokoh, tempat, dan kejadian yang tidak ada hubungannya dengan fakta sebagai bahan awalnya. Misalnya, fakta tentang manusia dan fakta tentang kuda, melahirkan mahluk imajiner kuda berkepala manusia, Centaurus. Atau fakta tentang manusia dan fakta tentang ular, memunculkan manusia berambu ular, Medusa.

Sedang penulis nonfiksi adalah mereka sungguh-sungguh tertib dalam menceritakan berbagai kejadian dengan benar-benar berdasarkan ingatan, tanpa berkeinginan mereka-reka sesuatu, atau bahkan tidak ingin melebih-lebihkan dan memperindah, atau memelintir perinciannya. Mereka akan menggambarkan kuda, begini: Kuda adalah binatang menyusui yang dikenal dengan nama latin Equus Caballus. Hewan berkuku satu ini terlahir dari famili equidae, ordo perissodactyla, kelas mamalia, dan kingdom animalia. Biasa, kuda dipiara orang sebagai kendaraan (tunggangan, angkutan) atau penarik kendaraan, atau untuk balapan.

Alif Danya Munsyi  dalam Jadi Penulis? Siapa Takut! (2012 : 2) telah memetakan genus tulisan mana yang termasuk fiksi, yang mana termasuk nonfiksi. Tulisan diksi meliputi cerpen, novel, drama, dan puisi, sedangkan nonfiksi mencakup berita, kritik, esai, serta kolom. Menurutnya, tak ada paksaan untuk memilih hanya salah satu model tulisan tertentu.

Penulis yang populer dengan nama Remy Sylado (2012 : 2) ini berkata, Tak ada saran untuk hanya memilih salah satu saja dari genus ini. Malahan disarankan untuk melakukan semuanya. sebab, nanti dalam menghubungkan antara kemauan dengan bakat di balik kerja menulis sebagai karya tulis, kita mesti memandangnya di bingkai bangsa yang ber-Tuhan Maha Esa.

Lalu, apakah dengan mengetahui pembagian jenis kelamin tulisan ini membuat seseorang menjadi penulis handal? Tentu tidak! Seperti selalu didengungkan oleh Kuntowijoyo, untuk menjadi penulis hebat, yang dibutuhkan adalah menuruti enam kata singkat ini: menulis, menulis, menulis, menulis, menulis, menulis. Apa tak ada trik khusus? Tak ada! Remy Sylado (2012 : 4) berujar: Dasarnya, kuasai bahasa, miliki kata-kata. Semua punya licentia poetika***, semacam kebebasan untuk mengulik kata  kata dalam karya.

Praktik licentia poetika ini bisa dirasakan pada pengalaman Ida Azuz menulis buku Malaikat Menulis Dengan Jujur (2007 : 5), Ida menyebutnya menulis dengan jujur. Menurutnya, menulis dengan jujur adalah menulis tanpa beban rasa takut. Menulis dengan jujur adalah menulis secara bergairah. Menulis dengan jujur adalah menulis dengan tulus menyampaikan kutipan orang lain tanpa menyembunyikan sang sumber tulisan.

Setelah muncul dorongan dan kemauan untuk menulis, sekarang saatnya akan mencari  cari apa yang mesti ditulis, bukan? Muhidin M. Dahlan dalam bukunya Inilah Esai. Tangkas Menulis Bersama Para Pesohor (2016 : 32  36), menyebut ada lima sumur tempat seorang penulis bisa menimba bahan esai yang bila ditilik serius, pun bisa menjadi sumber tulisan karya nonfiksi lainnya. Kelimanya adalah perpustakaan, subjek manusia, subjek flora dan fauna, ruang-ruang imajiner, dan internet.

Itu tadi bagi penulis nonfiksi, untuk tulisan fiksi, Josip Novakovich dalam Berguru Kepada Sastrawan Dunia (2003 : 7  26) menyebut setidakya ada empat sumber cerita fiksi. (1) Fiksi dan nonfiksi; (2) Memadukan fakta dan fiksi; (3) Tradisi lisan; dan (4) Sumber-fiksi yang lainnnya. Menariknya, untuk poin (4) Sumber-fiksi yang lainnnya, Novakovich ada tiga sumber yang untuk meraihnya harus dicuri: (a) Curilah dari masa kecil anda; (b) Curilah dari liang kubur; dan (c) Curilah dari buku.

Untuk penulis mubtadi, Remy Sylado (2012 : 11) menyederhanakan sumber itu menjadi dua: dari tulisan dan dari omongan. Dari tulisan, bahwa mula-mula kita membaca, dan dari bacaan itu kita memperoleh pengerahuan (penge-tahu-an) tertentu, darinya kita terdorong untuk membuat juga karya tulis. Dari omongan, bahwa kita mendengar omongan orang, lantas kita mencari jalan untuk mengetahui (menge-tahu-i) kebenarannya, atau juga ketidakbenarannya, untuk menjadi ilham tulisan kita. Baik yang benar maupun tidak benar, sama-sama berguna bagi sumber ilham kita tersebut.

Akhirnya, seseorang menulis atau tidak, menulis dengan baik atau buruk, penuh emosi atau tanpa perasaan, semua kembali pada dorongan, motivasi, atau stimulus yang merangsang seseorang mengungkapkan apa yang dipikirkannya ke dalam tulisan. Untuk menerka hal tersebut, ada baiknya kita mendaras ulang sebuah tanya sederhana dengan jawaban pelik yang dilontarkan oleh penghulu kaum eksistensialis, Sartre (2016 : 90), Mengapa seseorang menulis?

* Hernowo mengutip kalimat ini dalam tulisannya dengan judul Menulis Untuk Meningkatkan Kualitas Diri: Sebuah Pengantar Ringan yang menjadi pengantar atas buku Malaikat Menulis Dengan Jujur yang ditulis oleh Ida Azuz dan diterbitkan oleh Penerbit PT LIngkar Pena Kreativa pada April 2007.
** Helvy Tiana Rosa mengungkap hal ini dalam tullisannya dengan judul Menulis Tanpa Beban yang menjadi pengantar atas buku Berguru Kepada Sastrawan DUnia yang ditulis oleh Josip Novakovich dan diterbitkan oleh Penerbit Kaifa pada April 2003
*** licentia poetika pada awalnya digunakan untuk menunjukkan kebebasan para penyair dalam memiuh bahasa dan menyulam kata dalam puisi-puisinya.
Share this post :

Posting Komentar

 
Support : TurungkaNews | PB PemudaMuslim | KasmanPost
Copyright © 2015. Pemuda Muslimin Indonesia Sulsel - All Rights Reserved
Template by Cara Gampang Published by Cargam Template
Proudly powered by Blogger