OPINI - Dunia
Islam hari ini hanyalah cerminan dunia Islam di masa lalu. Segala hal yang akan
kita temui di masa depan, sejatinya berhulu dari sejarah Islam periode awal.
Kalau hari
ini, sebagian umat Islam memahami sekaligus meyakini bahwa agama berbeda dengan
sains, pada periode Islam sebagian sahabat juga memiliki sikap seperti itu.
Mereka lebih mempercayai kata-kata seorang nabi daripada kata-kata ilmuan di
sekitar mereka. Kata-kata nabi sebagai ‘agama’ jauh lebih superior dibandingkan
kata-kata ilmuan sebagai ‘sains’.
Adakah
pakar sains yang ikut andil membangun peradaban Islam di era Khulafaur Rasyidin?
Adakah pandangan sains pada periode ini yang menganulir ‘keyakinan agama’ yang
dihayati oleh keempat Khalifah? Apakah benar keempat Khalifah merupakan sosok
yang cerdas dalam bidang agama sekaligus sains?
Kedua
ilustrasi di atas, sudah lebih cukup untuk menjawab ‘kegalauan’, mengapa
sebagian kita masih lebih percaya agama daripada sains.
Nah, dari
perspektif ini kita bisa memahami ’pembelahan sikap’ masyarakat terhadap pademi
covid 19. Sebagian memandangnya ‘hanya’ dari sudut agama yang dipahaminya,
sebagian yang lain memandangnya ‘hanya’ dari perspektif sains, namun ada juga
yang sok religius mengaitkan sains dan agama sekaligus.
Saya
justru menemukan ‘keangkuhan’ dalam pernyataan ‘beragamalah dengan waras’. Berarti pernyataan ini akan bermakna
‘celakalah’ mereka yang ‘beragama dalam ketakwarasan’.
Bukankah,
dalam tradisi kaum sufi yang begitu mentereng, kita mengenal sosok-sosok yang
justru meluapkan citarasa beragamanya dengan ungkapan-ungkapan ketidakwarasan.
Tokoh seperti Rumi, Al Hallaj, Rabiah Al Adawiyah dan sederet nama sufi besar
lainnya, adalah contoh beragama yang melampaui kewarasan dalam beragama hingga
tiba di terminal ‘ketakwarasan dalam beragama’.
Beragama
itu, cukup dengan cinta yang sederhana. Tak mesti mewah seperti jalan
intelektual kaum filsuf. Bila agama semata soal metafisika, kearifan puncak dan
wacana sejenisnya, maka agama menjadi begitu eksklusif. Kaum Filosofi akan
memiliki kedudukan sama seperti kaum pemodal di dunia kapitalisme.
Maka ketika
hari persaksian digelar, ‘Maha Cinta’ akan memanggil lebih dahulu ‘cinta-cintaNya’
yang paling sederhana. Bukankan ‘cinta yang nampak sederhana itu’ akan selalu
dianggap biasa oleh hati dan pikiran? Karena itu, Tuhan yang Maha Cinta justru
memuliakan cinta-cinta penuh kesederhanaan.
Pandangan
cinta saya, justru membuktikan satu hak. Tidak ada ‘korelasi’ antara
rasionalitas, akal sehat, maupun tradisi filsafat dengan tingkat keampuhan
melawan covid 19.
Negara
super rasional seperti Amerika, justru tidak berkutik. Tradisi filsafat di
Perancis, Inggris dan Jerman, juga tidak berarti sama sekali. Apalagi klaim ‘akal
sehat’ beragama di Iran, Arab Saudi dan Mesir, juga tak berdampak signifikan
dalam habitus menghadapi covid 19.
Apa arti
semua itu? Semua ‘narasi’ tentang kehebatan bangsa-bangsa di dunia saat ini,
hanyalah omong kosong belaka. Seluruh ‘metanarasi’ kehebatan peradaban dunia
saat ini, seluruhnya hanyalah sampah!
Bila di
masa lalu, sebagian umat Islam memercayai agama ‘sama dengan’ kepentingan
politik, maka justru paradigma seperti ini yang paling merusak tatanan
kehidupan dunia. Pada akhirnya, agama dan kepentingan politik selalu bersenyawa
hingga substansi agama menjadi gelap penuh rahasia.
Mungkinkah
pasca pandemi, akan muncul buku monumental bertema ‘Kedigdayaan Agama Covid
19’?
Kalau
saya, kehadiran covid 19 mari kita sambut dengan rindu seutuh cinta, sayang
sepenuh kasih. Ia hanyalah rahasia yang sengaja Tuhan ciptakan agar kita lebih
mengenal kemahacintaannya.
***
Bila
negara berkuasa atas tempat ibadah, lantas atas dasar apa negara ‘mengklaim’
memiliki kekuasaan atas tempat ibadah?
Bukankah
secara filosofis dan normatif, negara itu hanya berkuasa atas Tanah, Bumi, Air
dan segala sesuatu yang terkandung di dalamnya. Jelas, negara menunjukan
kekuasaan yang tiranik ketika memaksa tempat ibadah harus tutup tanpa syarat.
Kontribusi
negara kepada tempat ibadah, tentu saja sangat kecil. Bahkan di jutaan tempat
ibadah, negara tak pernah hadir meski itu senilai dengan satu rupiah. Dan
sungguh, betapa arogannya negara yang tak memiliki kontribusi sedikitpun, lalu
merasa sangat berkuasa atas tempat ibadah.
Kalau
alasan, masjid akan menjadi ‘ruang penularan’ yang bersifat massif terhadap
penularan Covid 19, maka argumentasi ini menunjukkan ’cacat pikiran yang parah’.
Mengapa
negara tidak memfasilitasi secara rutin tempat ibadah yang ramah dan sehat bagi
jamaah selama periode pandemi ini? Mengapa negara tidak memfasilitasi agar
industri pertekstilan menyediakan pakaian ibadah antivirus korona? Bukankah,
saat ini merupakan momentum terbaik bagi negara untuk hadir di setiap tempat
ibadah?
Bila
tingkat sterilisasi rumah ibadah sudah mendekati standar fasilitas isolasi
pasien positif korona, lalu dimana-mana tersedia pakaian ibadah antivirus, maka
tentu saja habitus berjamaah di rumah ibadah akan normal seperti biasa.
Itulah
pemerintah yang tidak mau repot. Menganjurkan gunakan masker tetapi kesulitan
memperoleh masker jauh lebih berat. Mengajurkan isolasi mandiri, namun paket
bantuan di depan pintu rumah tak kunjung datang.
***
Engkau
boleh merendahkan cinta sederhana kaum sufi. Engkau boleh salah memahami cara
mereka mencintai Tuhan dan NabiNya. Namun mereka, tidak akan menertawai
pemahaman agama, orang-orang seperti Anda! Mengapa? Karena cinta mereka
melampaui kebencian dan kesoktahuan orang-orang yang beragama dengan sangat
dangkal.
Atas nama
agama, juga demi tanggung jawab kekhalifahan, ‘jalan politik’ merupakan pilihan
paling awal penyebarluasan ajaran Islam. Itulah fakta di zaman itu. Sebagai
jalan politik, Islam menawarkan keselamatan melalui unjuk rasa kekuasaan.
Dakwah merupakan tindakan politik. Pendirian masjid pun merupakan agenda
politik. Bahkan doa-doa dalam khotbah pun menjadi begitu politis.
Nah ketika
Islam makin kental unsur politiknya, substansi Islam pun mengalami kemunduran.
Kekuasaan Islam menjadi superior di atas rasionalitas Islam. Agama menjadi
lebih politis, dan rasionalitas agama makin terpinggirkan.
Untungnya,
pada periode selanjutnya terjadi pertemuan mesra antara teologi Islam dengan
filsafat pra-barat dan timur. Pertemuan mereka melahirkan generasi pemikiran
yang lebih terbuka dan inklusif. Agama tidak lagi menjadi satu-satunya
kebenaran yang bersifat absulot. Agama dengan begitu rendah hati menerima
kebenaran justru dari pihak-pihak yang memprotes warisan agama sebelumnya.
Dalam
konteks ini, kaum sufi ingin mengembalikan agama pada substansinya. Agama
adalah bahasa cinta universal yang dimiliki semua manusia. Ungkapan “ummati... ummati... ummati”, merupakan
bahasa agama yang memanifestasikan cinta tanpa batas. Maka, cinta seorang sufi
yang memabukkan dirinya sendiri, justru merupakan cinta yang salah alamat.
Sebagain
sufi, memang hanya sampai pada tahap keterpesonaan tajalli Tuhan pada keseluruhan
dirinya. Namun mereka tidak mengganggu kehidupan orang-orang disekitarnya.
Bandingkan,
bila situasi yang sama juga terjadi dalam diri seorang politisi muslim. Maka
kekuasaan absulot agama di tangan mereka akan selalu menghadirkan malapetaka
demi malapetaka. Sementara, logika absulot di imajinasi dan pemikiran kaum
filsuf, justru menciptakan arogansi-arogansi intelektualitas.
Mau pilih mana?
Harus
diakui, saat ini agama hanya menjadi monopoli sebagai elit. Agama menjadi
begitu despotik. Agama kehilangan fungsi emansipasinya. Mengapa ini bisa
terjadi?
Ya,
seperti saya katakan sebelumnya. Bahwa watak agama yang politik dan rasional,
justru menjadi ‘beban’ mengembalikan substansi ajaran agama yang sejati.
Benarkah,
agama dalam buku Murthada Murtahari merupakan ekspresi keagamaan yang lebih
tinggi daripada agama di hati seorang petani miskin yang bodoh? Benarkah
gagasan empat perjalanan Mulla Shandra jauh lebih utama dibandingkan dengan
‘pengorbanan cinta’ seorang migran yang meninggalkan keluarga dan kampung
halamannya?
Benarkah
kontribusi keilmuan Ibnu Sina, Ibnu Batutah, Al-Ghazali, Sir Muhammad Iqbal,
Abeed Aljabiri jauh lebih penting di mata Allah dibandingkan kontribusi kecil
relawan literasi di pelosok-pelosok desa?
Benarkah,
cinta sayyidah Fatimah dan Sayyidah Khadijah kepada Nabiullah Muhammad, jauh
lebih besar dan agaung di hadapan Allah, dibandingkan bacaan salawat seorang
nenek tua yang tak bisa membaca Al-Quran?
Bila
jawaban kita, adalah ‘ya’ maka itu merupakan cerminan bahwa betapa agama telah
kehilangan cinta yang sederhana. Agama yang mengarusutamakn logika dan
kekuasaan, menyeret kita pada kesadaran hirarkis. Sebuah kesadaran yang
melebihkan ‘sebuah kebaikan’ lalu cenderung mengabaikan bahkan meremehkan
kebaikan yang lebih kecil.
Samakah
‘nilai’ kebaikan dalam pandangan manusia dan pandangan Tuhan? Dalam konteks
ini, kaum sufi merupakan tulang punggung menemukan jawaban.
H. Zaid Ali
Rauf Sulaiman, Ketua I PW Pemuda Muslimin Indonesia Prov. Sulsel.
Tayang di
masyarakat.net pada tanggal 12 April 2020
Posting Komentar