PIMPINAN WILAYAH
PEMUDA MUSLIMIN INDONESIA
PROVINSI SULAWESI SELATAN 2014 - 2018
~Isy Kariman Aumut Syahidan~

Riuhkan Ramadan Dengan al Quran

[13.04.2021] Mentari Sya'ban telah meninggalkan ufuk di barat dengan perlahan, rembulan telah mengintip malam di kaki langit timur. Selamat datang Ramadan, bulan yang dinanti bahkan oleh para pendosa sekalipun, apalagi bagi mereka yang mencintai ibadah. Menyambut bulan yang di antara deretan malam-malamnya, terdapat satu malam dengan kemuliaan melebihi seribu malam.

Ialah Layla al Qadr, sepenggal malam yang menawan, ibarat gadis belia nan cantik jelita. Malam di mana doa-doa dikabulkan, harapan-harapan dipenuhi, dan impian-impian diwujudkan. Malam saat butir-butir air mata dan penggal-penggal rintihan penyesalan menjadi begitu bermakna. Malam kala al Quran, kodifikasi akhir petunjuk Tuhan, merambat perlahan memenuhi langit dunia dengan pesan-pesan Ilahi.

Sesungguhnya Kami menurunkan al Quran pada Layla al Qadr, tahukah engkau apakah Layla al Qadr itu? Layla al Qadr itu lebih baik dari seribu bulan, pada malam itu turunlah melaikat-malaikat dan Jibril dengan izin Allah Tuhan mereka (untuk membawa) segala urusan, selamatlah malam itu hingga terbit fajar.”

Lihatlah, betapa indah Allah menggambarkan perihal Layla dalam salah satu penggal kabar dalam al Quran, tepatnya di surah al Qadr (97) ayat 1 sampai 5. Al Quran menjangkau malam Qadr bersama rombongan malaikat, para pesuruh terpercaya itu, siap menuntaskan segala urusan.

Perihal al Quran, Tjokroaminoto, salah seorang pemuka dari kalangan kaum muslimin di Indonesia, dan menjadi pemimpin pergerakan umat Islam Nusantara, bahkan menempatkan peringatan penting tentang al Quran dalam Tafsir Program Asas dan Program Tandhim (1931), risalah kecil yang menjadi pegangan utama kader-kader Partai Syarikat Islam Indonesia (kini: Syarikat Islam Indonesia).

Tjokroaminoto menegaskan bahwa pokok yang terutama dari pada agama Islam ialah al Quran. Menurutnya, "Tidak ada agama lain di dunia melainkan Islam sajalah yang bisa menunjukkan, bahwa Kitab sucinya (Qur'an) yang sampai kepada pemeluk-pemeluknya hingga pada dewasa ini, tetaplah Kitab sucinya itu didalam kesuciannya yang semula."

Jaminan otentisitas Islam tergambar dalam klaim otentisitas Quran sebagai kitab yang terjaga kesuciannya. "Dari pada Kitab-kitab Suci yang lainnya itu ada setengahnya yang sudah lenyap sama sekali; adapun yang lain-lainnya sudah menjadi kotor lantaran dari perubahan-perubahan bikinan manusia." Tegas Tjokroaminoto mengenai ini.

Menurutnya, keterjagaan Al Quran sebagai kitab suci mendapatkan pengakuan dari lawan maupun kawan, dan bahwa keyakinan ini telah dipersaksikan dalam riwayat (sejarah). Al Quran hari ini tetaplah serupa dengan al Quran yang diterima oleh Muhammad Saw., berabad-abad silam.

Selain perkara otentisitas, Tjokroaminoto juga mendaku kecukupan al Quran sebagai petunjuk, panduan, dan pedoman hidup yang komplit. Segala perkara hidup telah ada tuntunannya dalam al Quran, sehingga tak layak bagi seorang muslim mencari sesuatu atau sesiapa sebagai pengganti al Quran dan nabi Muhammad Saw.

Tjokroaminoto menulis, "Tegasnya: sudah cukup menjadi asas-asanya mengatur segala keperluan lahir bathin kita, maka sudah tentulah Quran Suci itu yang sudah diturunkan kepada manusia semenjak 14 abad lamanya, tidak perlu di ganti ataupun di tambah dengan sesuatu Kitab Suci yang lainya, dan dengan hal yang demikian itu, Nabi Muhammad SAW. Tetaplah Nabi Penutup jua adanya."

Namun apakah Tjokroaminoto menjadi seorang pemimpin umat yang puritan? Tentu saja tidak! Tjokroaminoto begitu lugas mengapresiasi berbagai pemikiran semisal nasionalisme dan sosialisme, dua arus besar ideologi yang sempat menopang perjalanan arah bangsa jelang kemerdekaan, selain islamisme. Bahkan berbagai ulasan Tjokroaminoto muncul di media massa terkait dialektika pemikiran dimaksud.

Riwayat bangsa ini telah menunjukkan betapa terbukanya cakrawala pemikiran seorang Tjokroaminoto. Saat keluar dari tahanan Belanda, pada April 1922 dan menemukan kondisi gerakan Sarekat Islam, organisasi yang dipimpinnya seperti lesu darah pasca 'terusirnya' faksi merah dari organisasi, sebagaimana dikutip Ohan Sudjana bahwa Tjokro bilang, Sarekat Islam sedang sakit dan obatnya adalah sosialisme.

Meski demikian, bukan berarti Tjokroaminoto mengingkari komitmenya pada Islam dan al Quran, bahkan sebaliknya, Tjokroaminoto berupaya menghadirkan keduanya dalam tafsir yang lebih segar, yang sesuai konteks zaman di mana ajaran Islam dan kandungan al Quran hendak diimplementasikan dan dijadikan sebagai solusi dalam menghadapi berbagai persoalan.

Tjokroaminoto bahkan menulis sebuah buku khusus bertajuk Islam dan Sosialisme (1924). Dalam risalah tersebut, Tjokroaminoto menegaskan, "Bagi kita, orang Islam, tak ada Sosialisme atau rupa-rupa 'isme' lain-lainnya, yang lebih baik, lebih indah dan lebih mulus, selain dari sosialisme yang berdasar Islam." Sebuah mozaik pemikiran Islam yang menarik, bukan?

Bahkan, Tjokroaminoto berkehendak untuk mendorong agar umat Islam memperlakukan al Quran tak sekadar kitab penuntun ritual, melainkan sebagai risalah intelektualitas. Ibadah, menurut Tjokroaminoto, tak lepas dari rasionalitas, serta ruang sosial, sehingga seorang pelajar harus melihat dan memandang agama dengan pikiran kritis.

Hal ini terungkap dalam naskah pidato yang dibacakannya dalam Kongres Jong Islamiten Bond ke IV di Bandung pada 22-25 Desember 1928. Kata Tjokroaminoto, "Oentoek mengenal dan mengetahoei harga kebaikannja sesoeatoe Igama, haroeslah kita melihat, memandang dan memikirkan Igama itoe daripada tempat pendiriannja seorang peladjar jang mempergoenakan setadjam-tadjam fikirannja (criticsh)."

Dalam pidato yang diberi judul Memeriksai Alam Kebenaran (1928) ini, Tjokroaminoto mendedahkan beragam tema, mulai dari Tjita-tjita (ideaal) Islam hingga Boedi dan Rasa Islam terhadap kepada Politiek (Sijasah), dengan menjadi ayat-ayat Al Quran sebagai dasar argumen lalu menjelaskannya sebagaimana "lakoenja seorang geologist haroes mempelajari seboetir batoe logam (mineraal)."

Keyakinan Tjokroaminoto perihal kecukupan al Quran sebagai pedoman hidup bagi umat Islam juga dijabarkan dalam sebuah risalah berjudul Reglement Umum Bagi Ummat Islam (1934). Dalam konteks Ramadan, selayaknya kaum Syarikat Islam Indonesia kembali mengukur diri, sejauh mana jarak amal keseharian dengan Al Quran, dengan menjadikan Reglemen tersebut sebagai neraca.
Share this post :

Posting Komentar

 
Support : TurungkaNews | PB PemudaMuslim | KasmanPost
Copyright © 2015. Pemuda Muslimin Indonesia Sulsel - All Rights Reserved
Template by Cara Gampang Published by Cargam Template
Proudly powered by Blogger