[10.05.2021] Kata mudik selalu menjadi kontroversial bila dikaitkan dengan Hari Raya Idul Fitri. Bila tahun-tahun silam sebelum pandemi Covid-19, mudik menjadi kegiatan paling membuat ripuh semua pihak, baik pemerintah yang sibuk mengatur arus mudik dan balik, serta pemudik yang repot menyiapkan perjalanan.
Tahun lalu, saat pandemi melanda, kata mudik kembali membuat heboh saat pemerintah mengeluarkan larangan mudik untuk menekan laju penyebaran Covid-19. Tapi pada saat yang sama, penguasa negeri membolehkan warganya pulang kampung. Di sini, kata mudik diperhadapkan dengan frasa pulang kampung.
Belum lekang dari ingatan perihal mudik dan pulang kampung itu, tahun ini mudik lagi-lagi menjadi topik utama perbincangan di seantero negeri. Di tengah pandemik yang masih setia membersamai, mudik kembali dibatasi. Yang membuat polemis adalah, anjuran untuk berbelanja baju baru untuk lebaran, serta himbauan untuk berwisata.
Bukankah esensi pembatasan mudik adalah untuk menghindari banyaknya perjumpaan fisik dan kerumunan yang berpotensi menjadi kluster penularan? Lalu apakah penularan tak akan terjadi pada kerumunan di pusat perbelanjaan dan tempat-tempat wisata? Kembali narasi mudik menjadi sumbu perbalahan publik.
Namun, dibalik riuhnya silang pendapat dan perbantahan soal pembatasan mudik, ada hal yang seakan dilupakan dan alpa dari wacana publik, hakikat mudik bila dikaitkan dengan Ramadan sebagai bulan penempaan diri dalam meraih derajat takwa dan menggapai kualitas fitri.
Mendiang Nurcholish Madjid, dalam sebuah kesempatan mengungkap bahwa mudik yang diartikannya kembali ke udik, berkaitan dengan dorongan alamiah atau fitri manusia, yakni mereka ingin kembali kepada hal-hal yang berdimensi asal. Maka kembali ke udik adalah ikhtiar menjangkau asal diri, akar keberadaan.
Secara lahiriah, mudik diwujudkan dengan menjumpai kedua orang tua, sanak keluarga, serta kampung halaman, sebentuk gugus sosial yang menjadi ruang kelahiran dan bertumbuhnya kedirian. Seseorang akan menemukan kesadaran azali sosiologisnya kembali saat berada di udik.
Sementara secara ruhaniah, Nurcholish Madjid mendaku bahwa dorongan dan kerinduan yang bersifat natural atau fitri itu juga merupakan dorongan orang kembali kepada asalnya, yakni kesucian. Ini berkelindan erat dengan makna fitri yang menjadi arah tuju ibadah Ramadan.
Seseorang yang mudik secara spiritual, adalah mereka mencoba kembali menjangkau dan menautkan diri dengan akar keberadaannya, bukan hanya ala sosiologis dan hiatoris, melainkan juga secara ontologis dan teleologis sekaligus. Pemudik berjalan kembali ke hakikat dirinya yang fitrah.
Dengan begitu jernih, kerinduan untuk mudik digambarkan oleh Maulana Jalaluddin Rumi dalam puisinya yang masyhur, Nyanyian Seruling Bambu. Maulana seakan hendak berpesan, betapa perih bila seseorang tercerabut dari akar kemanusiaannya, sungguh perih bila seorang hamba dicabut dari rumpun kehambaannya.
Sejak direnggut aku dari rumpunku dulu,/ ratapan pedihku telah membuat berlinang air-mata orang.// Kuseru mereka yang tersayat hatinya karena perpisahan./ Karena hanya mereka yang pahami sakitnya kerinduan ini.// Mereka yang tercerabut dari tanah-airnya/ merindukan saat mereka kembali.
Maka di saat terjadi pembatasan mudik seperti lebaran lalu dan kali ini, maka sesungguhnya, ini seakan memenggal sulur panjang akar kemanusiaan dan kedirian umat Islam. Bukankah Nurcholish Madjid dalam buku Islam, Kemodernan dan Keindonesiaan (1998) mendaku mudik lebaran sebagai puncak pengalaman sosial-keagamaan umat Islam di Indonesia?
Pantaslah Yudi Latief menyebut lebaran tanpa mudik sedemikian sebagai lebaran pengorbanan. Kita diseru untuk kembali kepada fitrah secara ontologis, namun jalur sosiologisnya sebagai sarana, ditegah secara tegas. Kondisi ini tentu membutuhkan proses ruhani yang lebih sublim dan ibadah Ramadan yang lebih intim.
Suasana terbekap dalam bandar tanpa bisa menjangkau udik, akan mengakibatkan ketertekanan psikologis dan beban kerinduan yang membuncah. Seorang penyintas kamp konsentrasi Nazi, Viktor Frankl mengajukan pandangan bahwa yang dibutuhkan adalah keberanian untuk menghadapi kenyataan segetir apapun, termasuk beban kerinduan.
Frankl membuktikan melalui pengalaman, bahwa teorinya, kehendak untuk menemukan makna (the will to meaning), dalam wujud kemampuan berdamai dengan kenyataan dan pengorbanan untuk menjadi lebih baik, bisa menjadi khasanah bagi kita yang ingin tetap mudik ke fitrah dan asal diri secara ontologis, tanpa harus berjubel ke udik.
Posting Komentar